Selasa, 20 Juli 2010

TAUHID & HUKUM

Tauhid dan Kepatuhan Hukum
Oleh: A. Choliq Mi'roj

Pendahuluan
Tauhid atau prinsip keesaan Tuhan, yang dalam Islam merupakan fondasi pokok untuk menegakkan tiang agama Islam, telah mewarnai bangunan spiritualitas atau kesadaran keberagamaan umat Islam. Kesadaran tauhid yang berarti peneguhan kebenaran bahwa tuhan adalah esa (satu) baik di dalam zat-Nya, nama-nama-Nya, siat-sifat-Nya, maupun perbuatan-perbuatan-Nya telah melahirkan konsekwensi logis di dalam pikiran, sikap dan tindakan seorang muslim.
Seorang Muslim, berarti menganggap Tuhan semata, sang pencipta normatif yang kehendak-Nya semata-mata sebagai perintah yang harus diikuti dan pola-pola-Nya adalah semata-mata sebagai kebutuhan etis penciptaan (al-Faruqi, 1982: 16) Anggapan yang menempatkan Tuhan sebagai sumber normatif yang kehendak dan pola-Nya diyakini sebagai perintah dan kebutuhan etis penciptaan, ini memiliki arti bahwa Tuhan di dalam kesadaran umat Islam benar-benar sebagai sumber kebenaran pengetahuan dan peradaban. Selanjutnya dari kesadaran tauhid inilah, para sarjana dan ilmuwan muslim mencoba membangun berbagai konsep realitas, sains, ilmu alam, ilmu sosial, dan juga peradaban serta kebudayaan Islam (Bakar, 1994: 15).
Dalam memahami ide tauhid, ada baiknya bila kita memahami apa-apa yang oleh al-Qur'an dianggap sebagai syirik atau kemusyrikan. Al-Qur'an mengemukakan dua ciri utama dari kemusyrikan, yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik atau sekutu, dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad atau saingan. Kedua ciri utama itu wujud dalam berbagai bentuk manifestasi.
Meskipun para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum tertinggi dan termulia, mereka juga menerima bahwa hukum pemerintah juga mempunyai nilai tersendiri, karena itu patut untuk ditaati jika diturunkan dari al-Quran. Menurut mereka, undang-undang dan semua hukum yang diturunkan dari syariat Islam adalah sah dan berharga. Dengan begitu, semua Muslim harus menjalankan dan melaksanakannya. Mereka menganggap kepatuhan terhadap hukum Islam sangat diperlukan dan menjadi suatu kewajiban agama. Sebagai contoh, mereka memperhatikan hukum-hukum itu dan meyakini bahwa dalam negara Islam setiap orang harus menghormati dan memelihara hukum-hukum Islam.
Para ulama berkeyakinan bahwa alasan untuk secara saksama menjaga hukum Islam didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum Islam berasal dari wahyu, al-Quran, dan hadis, yang diturunkan oleh Pencipta manusia; karenanya, Dia dan kalimat-Nya adalah (hukum) tertinggi dan berada pada peringkat (hukum) tertinggi. Dasar pemikiran ini diambil dari firman Allah dalam al-Quran, Kalimat Allah itu adalah kalimat yang tertinggi. Kalimat Allah adalah kalimat tertinggi dan terunggul. Ahli tafsir besar Thabarsi menginterpretasikan ayat, ‘Kalimat Allah’ dengan makna tauhid (monoteisme). Dalam ayat al-Quran mengenai kalimat tauhid—sebagai sumber dan dasar semua aturan-aturan Islam—terdapat penentangan terhadap kekufuran dan kemusyrikan (Thabarsi, 1368H).

Pembahasan
Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah. Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta) (QS. 3:190/191).
Melalui suatu pengamatan yang cermat atas segala alam sekitar kita, dapat disaksikan betapa teraturnya alam raya ini. Betapa teraturnya gerakan bintang-bintang pada garis edarnya masing-masing. Bumi tempat kita hidup yang berputar pada sumbunya dan beredar pada orbitnya di sekeliling matahari dalam jangka waktu tertentu dan pasti menyebabkan silih bergantinya siang dan malam dan bertukarnya satu musim ke musim lain secara teratur.
Lewat ilmu pengetahuan alam kita diperkenalkan dengan hukum-hukum fisika dan kimia serta biologi, seperti hukum proporsi, hukum konservasi, hukum gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum Pascal, kode genetik, hukum reproduksi dan embriologi. Penemuan hukum-hukum alam (natuurwet) sebagaimana disinggung di atas, memberikan informasi yang jelas pada kita betapa alam raya ini mulai dari bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam inti atom yang sukar dibayangkan kecilnya, sampai kepada galaksi-galaksi yang tak terbayangkan besar dan luasnya, semuanya bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang mengaturnya.
Jika kita amati yang lebih dekat kita renungkan, ialah keadaan tubuh jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan, tubuh manusia terdiri dari 50 juta sel, jumlah panjang jaringan pembuluh darahnya sampai 100 ribu kilometer dan lebih dari 500 macam proses kimiawi terjadi di dalam hati. Tubuh manusia jauh lebih rumit dan menakjubkan daripada pesawat komputer. Prestasi atletik seringkali memperlihatkan tenaga tubuh yang bersifat melar. Sedangkan ketangguhannya menunjukkan staminanya. Meskipun demikian fungsi-fungsi tubuh yang tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari, tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah kita, pencernaan dan tugas-tugas lain yang tidak terbilang banyaknya. Pusat pengatur tubuh, yakni otak memiliki kemampuan merekam dan menyimpan lebih banyak informasi dibandingkan dengan pesawat apapun (QS.25:2).
Dalam hubungan ini, dapat kita renungkan salah satu ayat al-Qur'an yang berbunyi, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar (QS. 41:53).
Pesan untuk mengamati, meneliti, memikirkan dan mempelajari alam semesta, sangatlah jelas dan berulang-ulang kali disampaikan dalam sekian banyaknya ayat-ayat al-Qur'an. Katakanlah! Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman (QS. 10:101).
... Dan apakah mereka tidak memperhatikan kekuasaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah ... (QS. 7: 185). ...Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang Engkau menciptakan langit dan bumi (seraya berkata) ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan neraka. Rasulullah saw. mengomentari ayat-ayat ini dengan sabdanya, Celakalah orang yang membaca ayat ini lalu tidak berfikir. (QS. 3:190/191).
Petunjuk-petunjuk al-Qur'an yang mengarahkan manusia untuk berfikir, menalar, mengamati dan meneliti sebagaimana disinggung di atas yang sifatnya global, dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk lain yang bersifat detail dimana terbayang isyarat-isyarat yang mengacu pada pokok-pokok ilmu pengetahuan tentang alam dan hukum-hukum yang berlaku atasnya. Misalnya ayat yang berbunyi, Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah (mansion) bagi peredarannya supaya kalian mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungannya. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menguraikan tanda-tanda (kekuasaannya) kepada orang-orang yang mengetahui (berilmu)"
...Dan matahari itu berjalan di tempatnya, itulah ketentuan dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah perjalanan sehingga (setelah ia sampai ke manzilah terakhir) kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mencapai bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing di dalam orbitnya pada beredar. (QS. 36:38/40).
Kedua ayat ini cukup jelas isyarat-isyaratnya yang dapat ditangkap ilmu astronomi. Demikian pula halnya dengan ilmu-ilmu lain yang dapat menangkap isyarat-isyarat berbagai ayat al-Qur'an yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, air, awan, kilat, dan tentang manusia sendiri dan kejadiannya serta segala macam permasalahannya. Upaya pengamatan, penelitian dan penalaran lewat ilmu-ilmu yang mempelajari perilaku dan sifat-sifat makhluk-makhluk, baik berupa benda mati maupun makhluk hidup, telah mengungkapkan banyak penemuan yang memperkenalkan kepada kita hukum-hukum yang berlaku dengan pasti atas alam ini.
Kehadiran ayat-ayat yang mengandung isyarat-isyarat yang mengacu pada pengungkapan misteri alam, mendorong minat dan membangkitkan semangat kaum Muslim angkatan-angkatan pertama --yang dapat menghayati ayat-ayat al-Qur'an ini-- untuk terjun menggali ilmu pengetahuan yang luas dan khazanah ilmiah bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Parsi, India dan Cina di bidang pengetahuan filsafat dan alam, sehingga menghasilkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi, al-Ghazali dan serentetan nama besar yang tidak asing bagi dunia ilmu pengetahuan di Timur dan di Barat.
Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum yang mengatur segala makhluk di alam raya ini, biasanya dalam bahasa ilmu-pengetahuan disebut natuurwet atau hukum alam, di dalam bahasa al-Qur'an kadangkala disebut sunnatullah. Salah satu ayatnya mengatakan, Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat pergantian bagi sunnatullah itu, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan dari sunnatullah itu.
Dalam terminologi teologis hal semacam itu termasuk dalam kategori qadar dan qadla, namun istilah ini lebih mendominasi hal-hal yang bersangkut paut dengan perilaku manusia, dan sering kali --secara kurang hati-hati-- dianggap identik dengan determinisme.
Ayat yang secara jelas merangkaikan sunnatullah itu dengan qadar, berbunyi ...(Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnatullah pada mereka yang telah berlaku dahulu, dan adalah ketetapan Allah itu suatu qadar yang pasti berlaku (QS. 33:38). Penjelasan lebih jauh tentang qadar itu dapat kita simak dari beberapa ayat, diantaranya, Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar. Kata bi qadar (dengan qadar) di sini ditafsirkan, menurut ukuran. Isyarat yang ada dibalik kalimat ini dapat ditangkap lebih jelas dengan bantuan ilmu fisika yang membahas tentang materi dan unsur.
Benda-benda yang ada disekeliling kita, yang merupakan bahan-bahan kebutuhan dalam hidup kita seperti kayu, besi, seng, perak, emas, hewan, tumbuh-tumbuhan, air dan sebagainya, semuanya itu termasuk dalam kategori materi. Sebahagian besar dari materi-materi yang kita kenal terdiri dari unsur-unsur.
Tergabungnya dua unsur atau lebih melalui pola persenyawaan atau pola percampuran membentuk suatu materi tertentu. Misalnya unsur oksigen bergabung dengan hidrogen membentuk senyawa cair, dan disebut air. Unsur-unsur yang tergabung dalam suatu senyawa selalu mempunyai proporsi tertentu. Air murni selalu mempunyai proporsi oksigen dan hidrogen yang sudah tertentu dan tetap, demikian pula dengan proporsi nitrogen dan hidrogen dalam amoniak. Dalam kasus-kasus seperti ini, unsur-unsur telah bergabung membentuk suatu senyawa, mengikuti suatu aturan yang dikenal hukum proporsi yang sudah tertentu.
Isyarat serupa yang kita peroleh dari informasi ilmu fisika sebagaimana disinggung di atas, dapat pula kita temui dari informasi ilmu kimia yang membahas unsur-unsur itu. Misalnya, unsur Al (aluminium), jumlah proton yang terkandung di dalamnya 13; unsur Cu (tembaga), jumlah protonnya 29; unsur Au (emas), jumlah protonnya 79; unsur Ag (perak), jumlah protonnya 47; unsur Pt (platina), jumlah protonnya 78; unsur Ni (nikel), jumlah protonnya 28; unsur Fe (besi), jumlah protonnya 26; unsur Hg (air raksa), jumlah protonnya 80; dan seterusnya. (QS. 54:49).
Secara sepintas dari dua informasi yang disajikan di atas, memperlihatkan kepada kita adanya kadar ukuran tertentu yang menjadi ketentuan-ketentuan yang pasti yang dapat diamati dalam diri setiap makhluk. Semuanya ini merupakan bagian dari hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta. Dalam hubungan ini dapat kita hayati ungkapan sebuah ayat yang berbunyi, ... Dan Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan Dia-lah yang menetapkan qadar/ukurannya secara pasti serapi-rapinya (QS. 25: 2)
Pembahasan teologis dalam bidang qada dan qadar (masalah takdir) kurang menyentuh apa yang kami singgung di atas. Padahal ayat-ayat yang berbicara tentang qudrat-iradat Allah/kekuasaan dan keagungan Allah, sebagian besar mengaitkan bermacam-macam fenomena alam yang dimintakan perhatian supaya manusia mengamatinya dan melakukan penalarannya untuk dapat membaca tulisan Ilahi yang tersirat di dalamnya. Juga untuk menemukan sunnatullah atau hukum-hukum kauniyah yang akan menopang tegaknya hukum-hukum syar'iyyah. Mungkin itulah yang disindir Imam Ghazali dengan ungkapannya:.".. mereka tidak mampu membaca tulisan Ilahi yang tergurat di atas lembaran-lembaran alam semesta; tulisan tanpa aksara dan bunyi itu pasti tidak dapat diraih dengan mata telanjang, tapi harus dengan mata hati (Ihya 'Ulum al-Din, al-Ghazali, LV/89).
Sunnatullah yang diperkenalkan al-Qur'an sebagaimana diuraikan di atas tidaklah terbatas pada ketentuan-ketentuan yang mengatur alam materi saja, tapi juga menjangkau alam nonmateri, bahkan dalam al-Qur'an, pemakaian kata sunnatullah lebih banyak mengacu pada apa yang disebut oleh ilmu pengetahuan sebagai "hukum sejarah." Ayat-ayat di dalam surah-surah al-Isra', al-Kahf, al-Ahzab, Fathir, Ghafir, al-Fath, Ali 'Imran, al-Nisa, al-Anfal, dan lain sebagainya, yang berbicara tentang sunnatullah dengan berbagai formulasi seperti sunnat alawwalin, sunnata man arsalna qablak, sunana al-ladzina min qablikum, semuanya berkaitan dengan peristiwa sejarah yang dialami para Nabi/Rasul dengan umatnya masing-masing, yang diminta al-Qur'an supaya diamati, direnungkan dan mengambil pelajaran daripadanya.
Dalam rangka itu al-Qur'an memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah zaman lampau seperti Fir'aun, Haman, Jalut, Tubba', al-Tsamud, Quraisy, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan tempat-tempat bersejarah seperti Badr, Uhud, Hunain, Thur, Hijr, Ahqaf, Saba', dan sebagainya. Dari sejarah itu tergambar bagaimana proses kebangkitan suatu umat dan bagaimana proses kehancurannya, apa faktor-faktor kemenangan dan apa faktor-faktor kegagalan dalam satu perjuangan. Bagaimana pertarungan antara pahlawan-pahlawan kebenaran dan akibat-akibat apa yang dialami para penentang kebenaran yang melakukan kezaliman, yang mengabaikan nilai-nilai moral, yang memeras golongan lemah, yang hidup bergelimang kemewahan, dan seterusnya. Sejarah mempunyai hukumnya sendiri dalam hal-hal tersebut di atas. Hukum yang berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia, merupakan sebagian dari sunnatullah, yang berlaku secara pasti, sebagaimana berlaku natuurwet (QS. 35:43).
Selain itu, aspek kesejarahan mempunyai juga arti penting dalam hukum-hukum syar'iyyah. Apa yang dikenal dalam ilmu hukum dengan historis-interpretasi cukup jelas padanannya dalam ilmu ushul fiqh yang lazim dipakai dalam mengolah hukum Islam, dengan adanya hukum nasikh-mansukh, asbab al-nuzul, asbab al-wurud dan status makkiyah atau madaniyah dari ayat-ayat, semuanya itu adalah untuk memperjelas proses terbentuknya suatu hukum dan latar belakang sejarah yang mendorong kehadiran hukum tersebut.
Sunnah Rasullullah saw yang menggambarkan perjuangannya selama dua dasawarsa lebih, yang banyak dicatat dalam al-Qur'an menerjemahkan dengan jelas sunnatullah yang berlaku dalam sejarah. Sukses besar berupa keberhasilan membangun dan membina suatu umat teladan, dan memenangkan suatu perjuangan besar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta mewujudkan kesejahteraan yang memberi arti bagi kemanusiaan, semua itu tidaklah lahir dalam sehari dengan kilatan lampu aladin, tapi merupakan hasil kerja keras yang lama dan berkesinambungan, yang didorong oleh rasa percaya diri dan semangat juang yang tinggi sebagai perwujudan iman dan taqwa.
Sunnah Rasulullah dalam perjuangan itu mendidik umatnya supaya memahami dan menghayati sunnatullah yang berlaku dalam sejarah. Dalam hubungan ini Syeikh Mahmud Syaltut mengomentari, ayat-ayat yang berbicara tentang perjuangan Rasulullah, mengungkapkan sesungguhnya Allah hanya memenangkan suatu perjuangan sesuai dengan ketentuan sunnahNya yang berlaku atas segenap mahluk-Nya. Siapa yang menolong/membela agama Allah dengan jalan menegakkan keadilan, memantapkan keamanan, menyebarkan ketentraman, tidak menjadikan kekuatan/kekuasaan itu sebagai alat menindas dan merusak, tapi hanya sebagai alat menciptakan kemakmuran dan untuk menegakkan hukum Allah dalam hal memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa dalam al-Qur'an banyak ayat memuat janji Allah untuk membantu memenangkan perjuangan orang-orang mukmin, tapi tidak mewujudkan janji itu dalam bentuk suatu keajaiban yang langsung turun dari langit, hanya karena mereka sudah mengaku beriman/percaya kepada Allah, atau karena sudah memeluk agama Allah, tapi dalam bentuk kesadaran keimanan yang menjadikan mereka menyadari kewajibannya dan melaksanakan perjuangan dengan gigih tanpa pamrih. Sikap yang demikian membuktikan bahwa mereka sudah memenuhi janjinya kepada Allah. Dan Allah pun mewujudkan janjinya pada mereka (Syaltut, tt : 272).
Ciri utama agama Islam, ialah ajarannya yang cukup praktis dan realistis menghadapi kenyataan sosial dengan langkah-langkah pemecahan yang praktis pula. Maka dengan adanya perjuangan antara kebenaran dengan kebatilan, yang menandai kehidupan sosial, maka keharusan memenuhi segala persyaratan-persyaratan itu adalah suatu hal yang mutlak. Sebab-sebab keberhasilan dan kemenangan dalam suatu perjuangan dapat dipelajari dari sejarah dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya juga segala penyebab terjadinya suatu kegagalan atau kehancuran harus disadari dan dihindari.
Hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai titik temu dalam hukum sebab-akibat. Pesan dan petunjuk yang diberikan al-Qur'an pada manusia, demikian pula sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan praktis pada pesan al-Qur'an itu, membimbing kita supaya menyadari keterkaitan segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi terjadinya.
Ada sebagian pendapat yang kurang memahami sunnatullah dalam bentuk hukum alam dan hukum sejarah, melihat adanya semacam kontradiksi antara hukum sebab-musabab (hukum kausal) dengan hukum teologis yang disebut tauhid, atau hukum moral yang disebut tawakkal. Dianggapnya hukum tauhid itu cenderung memberikan cap syirik (mempersekutukan Allah) jika seseorang menganggap ada penyebab (faktor penentu) selain Allah. Atau dianggapnya hukum tawakkal bertentangan dengan hukum sebab-musabab (kausal). Keraguan seperti itu sejak dini telah muncul, lalu diluruskan oleh sunnah Rasulullah dalam praktek sebagaimana tercermin dengan jelas dalam cara-cara perjuangan Rasul saw. yang menempuh segala persyaratan dan mengkaitkan segala sebab dengan musababnya, disamping menjelaskan hal itu dalam petunjuk lisannya pada mereka yang segan berobat di kala ia sakit, karena khawatir kalau-kalau upaya berobat untuk menghindarkan penyakit bertentangan dengan iman tauhidnya dan tidak menjadikan ia bertawakkal kepada Allah. Dalam hubungan itu Nabi saw. bersabda, Bertobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan menciptakan juga obat.
Dalam sabdanya yang lain, ketika Beliau ditanya tentang pengobatan, apakah itu bertentangan dengan qadar (taqdir)? Lalu Beliau menjawab, Itu (pengobatan) adalah sebahagian dari qadar Allah. Imam Ghazali menjelaskan, sebab-musabab itu adalah sunnatullah dan penyimpangan dari sunnatullah bukanlah persyaratan dalam tawakkal bahkan ada kalanya merupakan kebodohan yang dicela agama. Demikian ulasan al-Ghazali dalam Kitab Tawhid dan Tawakkal (al-Ghazali, LV/89).
Penjabaran yang merinci hukum-hukum al-Qur'an yang dilakukan fiqh memperlihatkan adanya empat bidang utama yang menjadi sasaran dari hukum itu, yakni bidang 'ibadat, bidang mu'amalat, bidang munakahat dan bidang jinayat. Hubungan manusia sebagai makhluk dengan Khaliqnya (Allah) diatur penataannya melalui hukum ibadat. Tata hubungan antara manusia dengan sesamanya dalam lalulintas pergaulan dan hubungan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, diatur dalam hukum mu'amalat. Tata hubungan manusia dalam kehidupan berkeluarga dalam suatu lingkungan rumah tangga, diatur melalui hukum munakahat, dan terakhir tata hubungan keselamatan, keamanan serta kesejahteraannya yang ditegakkan oleh pemegang kekuasaan umum atau badan peradilan, diatur melalui hukum jinayat.
Adanya hukum-ibadat dalam batang tubuh hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an itu merupakan ciri utama hukum Islam. Ibadat tidak lain adalah perwujudan dari akidah yang diimani. Di sinilah terlihat secara nyata keterkaitan hukum itu dengan akidah/keimanan. Hubungan antara makhluk (manusia) dengan Al-Khaliq, diatur secara pasti. Adanya hukum niat yang diberi peran menentukan nilai perilaku manusia, memperlihatkan dengan jelas peran moral dalam hukum itu. Di sini pula tampak titik awal perbedaan antara pemahaman hukum menurut ilmu hukum dengan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an. Menurut ilmu hukum, hukum itu hanya sekedar mengurus dan mengatur hubungan antar sesama manusia. Di luar itu tidak diperlukan hukum.
Selain itu, masih ada perbedaan asasi antara kedua jenis hukum itu. Menurut ilmu hukum, hukum itu terdiri dari suruhan/perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Apa yang dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidaklah tergolong hukum. Dengan demikian tidaklah mengherankan akibatnya dalam rangka pembinaan hukum, hanya diarahkan supaya tidak melanggar rambu-rambu hukum. Kepatuhan mentaati hukum menjadi kepatuhan yang semu dan bersifat lahiriah belaka. Sebaliknya hukum menurut ajaran al-Qur'an penegakkannya berjalan sekaligus dengan penabinaan moral dan akhlak yang bersumber dari akidah/keimanan. Karena itu penegakkan hukum menurut ilmu hukum selama tidak diawasi dan diketahui pejabat/aparat hokum selalu terjadi pelanggaran hukum. Pembinaan hukum di sini tidak diarahkan kepada pembinaan diri manusianya.
Dalam penegakkan hukum menurut ajaran al-Qur'an selalu ditekankan suatu pesan sebagai berikut, Wahai orang-orang yang berilmu! jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan keluarga kerabatmu; kaya maupun miskin, Allah jualah yang lebih tahu keadaannya (QS. 5:8). Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsumu, supaya kalian tidak menyimpang (dari kebenaran). Dan jika kalian memutarbalikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi. Maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kalian lakukan. (QS. 5:42) Itulah pesan al-Qur'an, bagaimana seyogyanya seorang berbuat adil. Tidak dituntut dari dan terhadap orang lain saja, yang pertama ialah dari dan terhadap dirinya sendiri.
Kemungkinan seorang pencari keadilan berlaku memperdaya hakim, atau adanya aparat hukum yang menyalahgunakan kedudukannya, secara dini al-Qur'an memperingatkan, Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil dan jangan pula mempergunakan harta itu sebagai umpan (guna menyuap) para hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui. (QS. 5: 42)
Dalam hubungan adanya kemungkinan seseorang berlaku memperdayakan hakim, sunnah Rasulullah memperjelas sebagai berikut, Sesungguhnya kalian mengajukan perkara-perkara kepadaku (untuk diputus). Mungkin sebahagian dari kalian lebih mampu dari yang lain (lawannya) mengemukakan alasan-alasan untuk memperkuat tuntutannya, lalu aku memutus perkara itu atas dasar apa yang saya dengar (dari alasan/keterangan) itu. Maka barang siapa menerima putusan perkara (yang ia sendiri tahu) bahwa itu hak saudaranya (lawannya dalam perkara) maka janganlah ia mengambil (hak) itu. Karena sesungguhnya ia hanya mengambil (menerima dariku) sepotong api neraka. (QS. 10: 15)
Dengan demikian maka jelaslah, al-Qur'an memperkenalkan satu konsepsi hukum yang bersifat integral. Di dalamnya terpadu antara sunnatullah dengan sunnah Rasulullah, sebagaimana terpadunya antara aqidah/keimanan dan moral/ahklak, dengan hukum dalam rumusan yang diajarkan al-Qur'an.
Dengan sifatnya yang demikian itu, maka hukum dari ajaran al-Qur'an itu mempunyai kekuatan sendiri yang tidak sepenuhnya tergantung pada adanya suatu kekuasaan sebagai kekuatan pemaksa dari luar hukum itu. Ide hukum yang diajarkan al-Qur'an berkembang terus dari kurun ke kurun, melalui jalur ilmu. Seandainya hukum yang diajarkan al-Qur'an itu tergantung pada suatu kekuasaan, maka sudah lama jenis hukum ini terkubur dalam perut sejarah atau sekurang-kurangnya menjadi barang pajangan di lemari-lemari museum. Karena kita semua cukup mengetahui betapa hebat upaya dari kekuasaan-kekuasaan yang mampu menaklukkan wilayah-wilayah Islam dan umatnya disertai upaya melikwidasi budaya dan hukumnya. Tapi ternyata hukum Islam dari ajaran al-Qur'an itu dapat memperlihatkan daya tahannya yang ampuh. Ia tetap bertahan bahkan berkembang dalam bentuk baru melalui proses taqnin (dirumuskan menjadi positif melalui yurisprudensi dan adakalanya melalui berbagai bentuk perundang-undangan).
Di lain pihak, perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, yang terjadi di negara-negara maju dapat pula mencari pandangan yang negatif terhadap Islam dan al-Qur'an, yang sangat mendominasi bangsa-bangsa Barat. Salah satu gejala dari perkembangan tersebut adalah minat para ilmuwan Barat untuk mempelajari Islam/Qur'an, sebagai ilmu. Dalam rangka itu para ahli hukum dari mereka, dari kongres ke kongres mulai terbuka pandangan terhadap Islam, yang tidak lain wujud nyatanya dan terinci adalah fiqh (hukum Islam) itu sendiri. Maka Fiqh ini dijadikan agenda tetap dalam pengkajian-pengkajian mereka di bidang hukum.
Sebagai contoh dapat kita lihat dari hasil Kongres Ahli-ahli Hukum Internasional yang berlangsung di London (2-7 Juli 1951) yang antara lain menetapkan, pokok-pokok hukum (undang-undang) yang terdapat dalam agama Islam merupakan undang-undang yang bernilai tinggi dan sulit dibantah kebenarannya. Disamping itu, adanya berbagai madrasah dan madzhab di dalamnya menunjukkan, perundang-undangan Islam kaya dengan berbagai teori hukum dan teknik hukum yang indah, sehingga perundang-undangan ini dapat memenuhi kebutuhan hidup modern (Jonathan Rutland, Human Body).
Salah satu kelebihan dari masyarakat Islam adalah perintah saling mengingatkan dalam mengamalkan hukum (amar makruf). Al-Quran menegaskan hal ini sebagai syarat utama bagi sebuah masyarakat Islam. Para ulama menganggap kehidupan dan kelanggengan masyarakat Islam tergantung dari perhatiannya terhadap amar makruf nahi mungkar. Karena itu, memberi peringatan kepada para pelanggar hukum (nahi mungkar) diturunkan dari pentingnya menerapkan amar makruf seperti yang telah disebutkan di atas. Al-Quran menjelaskan hal itu dalam ayat Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung (QS. 3:104). Dengan begitu, perbuatan menyeru pada kebaikan dan pentingnya menyampaikan kebajikan adalah perbuatan yang sesuai dengan akal, bahkan dalam beberapa kasus menjadi suatu kewajiban agama.
Para ulama senantiasa mengingatkan setiap orang dalam negara beragama untuk memperhatikan kewajiban-kewajibannya secara saksama hingga dengan begitu negara Islam mencapai tingkat pembangunan yang diinginkan. Dengan cara ini, kekacauan sosial, agitasi, dan benturan kepentingan antara tugas dan kezaliman dapat ditekan.
Dalam masalah ini, Ayatullah Musawi menegaskan bahwa, “Jika setiap anggota masyarakat berusaha untuk memikul tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya, negara ini akan menuju kesempurnaan negara Ilahi. Namun jika seseorang—mencari keuntungan sendiri—berusaha mencampuri pekerjaan atau jabatan orang lain, misalnya saat dia menjadi seorang hakim dia juga ingin bertindak selaku pejabat pemerintahan, maka hal ini akan menimbulkan agitasi dan kekacauan.”
Para ulama senantiasa menekankan pentingnya berpegang pada hukum dan ketinggian statusnya, karena itu mereka menganggap pelanggaran terhadap hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama. Mereka juga menegaskan bahwa dalam negara Islam semua hukum harus dihormati, dan setiap orang hendaknya menjaga agar tidak sampai melanggarnya, sekalipun berupa hukum lalu lintas, karena itu juga adalah hukum dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara satu hukum dengan hukum lainnya. Bahkan, mereka menegaskan bahwa Islam telah memerintahkan setiap individu, dan semua lapisan masyarakat harus berusaha untuk berpegang teguh pada tali Allah. Berpaling dari perintah ini adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama.
Para ulama percaya bahwa mempertahankan negara Islam adalah terkait dengan penerapan hukum; karena itu mereka menganggap ketidakpatuhan pada hukum Islam sebagai sebuah perbuatan yang tidak bisa diterima dan tidak terpuji. Mereka bersandar pada ayat al-Quran, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan... (QS. 4:135).
Almarhum Allamah Thabarsi memberi tafsiran ayat tersebut sebagai berikut, “Allah menginginkan kaum mukmin untuk menegakkan keadilan dan menjadikan sikap ini sebagai bagian dari karakter mereka baik dalam perkataan maupun perbuatan.” Selanjutnya, Ayatullah Musawi menekankan pentingnya mempertahankan Republik Islam dan menyatakan, “Mempertahankan negara Islam adalah salah satu kewajiban agama.” Tidak hanya itu, di kesempatan lain beliau menegaskan, “Tentu saja, segala sesuatu harus didasari dengan aturan dan disiplin… Menjaga disiplin adalah salah satu tugas kewajiban agama. Kedisiplinan ini harus diterapkan di kantor-kantor pengadilan negara; jangan sampai terjadi seorang hakim bekerja satu hari dan bolos kerja di hari lain… dalam suatu negara, segala sesuatunya harus dilandasi dengan disiplin.”
Para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum terbaik, yang jika diterapkan akan menciptakan keunggulan kaum Muslim. Dan sebaliknya, perpecahan dan kekalahan disebabkan oleh kurangnya disiplin dan ketidakpatuhan pada hukum; seperti itu pula, pelanggaran hukum berasal dari kurangnya pendidikan moral masyarakat. Untuk itulah, penerapan hukum harus dipertahankan dan seharusnya dijadikan contoh seruan pada kebajikan (amar makruf). Untuk membuktikan pandangan yang telah dikemukakan di atas, sejumlah rujukan al-Quran yang berkaitan dengan ajaran tersebut, sejauh ini, telah disebutkan.
Salah satu hasil yang berharga dan membahagiakan dari kepatuhan pada hukum adalah terciptanya persatuan dan kesatuan. Kaum Muslim dalam beberapa kasus telah banyak mengalami kekalahan sepanjang sejarahnya. Para ulama meyakini bahwa disiplin dan budaya kepatuhan pada hukum akan membuka jalan pada kesatuan dan persatuan kaum Muslim. Tanpa disiplin, masyarakat (umat) tidak akan bisa memegang teguh ajaran tauhid dan tidak akan pernah bisa meraih tujuan-tujuannya. Mereka berkeyakinan bahwa tanpa disiplin, umat akan kehilangan karakter monoteistiknya. Sebuah masyarakat yang monoteistik (bertauhid) adalah masyarakat yang di dalamnya setiap orang memperhatikan kewajiban-kewajibannya masing-masing, mematuhi hukum, dengan satu batasan dan satu tujuan. Mereka menyadari bahwa ketaatan pada hukum adalah landasan bagi penerapan sikap egaliter, persatuan, dan kesatuan, sebuah pandangan yang Allah perintahkan pada semua kaum Muslim untuk dilaksanakan. Ayat al-Quran berikut menyatakan hal itu, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara (QS. 3:103).
Dalam rangka pembangunan hukum di negara kita Republik Indonesia, pembangunan dan pembinaan hukum nasional diarahkan kepada pembaharuan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat (UUD 1945, Penjelasan Umum). Sebagai kelanjutan dari pokok pikiran ini, sejak 1978 sampai dengan 1983 telah dilaksanakan pengkajian hukum yang meliputi antara lain Hukum Islam. Terakhir kita mendengar selesainya upaya kompilasi Hukum Islam yang dilakukan Mahkamah Agung bersama Departemen Agama. (UU No. 14 Tahun 1970).

Kesimpulan
Mengamalkan tauhid, berarti tunduk dan patuh pada hukum. Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an hidup terus, sekali pun harus mengalami pasang surut dan pasang naik dan penerapannya, karena memang demikianlah hukum sejarah dalam sunnatullah sendiri. Namun harus diakui, perkembangan segi-seginya tidaklah seimbang. Seginya yang menyangkut hukum sosial kemasyarakatan (ahkam syar'iyah 'amaliyah/fiqh) lebih banyak mendominasi perkembangan itu. Dan seginya yang menyangkut sunatullah berupa hukum alam dan sejarah, kurang mendapat perhatian dalam pengembangannya. Tetapi bagaimana pun juga, perkembangan segi fiqhnya yang merumuskan hukum sosial kemasyarakatan itu, sangat berjasa dalam menumbuhkan kesadaran hukum dan sikap normatif dalam kehidupan umat Islam.
Selain itu, wawasan hukum yang diperkenalkan al-Qur'an, penerapannya ternyata juga kurang terpadu antara hukum-hukumnya yang menyangkut segi sosial kemasyarakatan, dengan hukum-hukumnya yang menyangkut sunnatullah yang berupa hukum alam dan hukum sejarah. Dua hal yang disinggung terakhir ini, yakni keseimbangan dan keterpaduan dalam hal pemahaman, pelaksanaan dan pengembangan wawasan hukum yang diperkenalkan al-Qur'an itu merupakan tantangan bagi para ulama dan para cendekiawan Muslim.


REFERENSI

Al-Faruqi, Ismail Raji. Tawhid its Implication for Thought and Life. 1982. Kuala Lumpur: Polygraphi Sdn.
Al-Ghazali. Ihya 'Ulum al-Din, tt. Beirut: Darul Fikr.
Al-Quran al-Karim
Bakar, Oesman. Tauhid dan Sains. 1994. Terj. Yuliani Lipato. Bandung: Hidayah.
Budhy Munawar-Rachman (Ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. tt. Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina
http://www-id.icc-jakarta.com/artikel/tafsir-hadis/915-peran-hukum-dalam-mengatur-kepentingan-manusia.html
Ilmu Pengetahuan Populer, Grolier Internasional Inc. IV/146.
Jonathan Rutland, Human Body.
Mughniyyah, M.J., At-Tafsir al-Mubin,
Musawi, Ruhullah, Sahife_ye Nur: Majmu’e_ye rahnemuzha_ye Imam Khomeini, Tehran, Markaz_e Madarek_e Enqelab_e Eslami, 1364 H.S
Musawi, Ruhullah, Tebyan, jilid 13, Institute for Editing and Dissemination of Imam Khomeini’s Works, 1372 H.S
Musawi, Ruhullah,Wilayat al-Faqih, Tehran:Sayyid Jamal
Syaltut, Syeikh Mahmud. Min Taujuhat al-Islam. tt. Beirut: Darul Fikr.
Tafsir Ibn' Katsir, I/440.
Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1368 H
Thabathabai, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Beirut, Muassasah al-A`lami, 1393 H
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
UUD 1945, Penjelasan Umum.