Selasa, 26 Januari 2010

Pemberontakan Perempuan

PEMBERONTAKAN PEREMPUAN
DALAM NOVEL "TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR!"
KARYA MUHIDIN M. DAHLAN

OLEH
MUSLIKHAH
NPM. 06410251

IKIP PGRI SEMARANG
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JUNI 2009


A. ABSTRAK
Penelitian sederhana ini berjudul Pemberontakan Perempuan dalam Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan.
Harus disadari bahwa mayoritas sistem budaya di Indonesia berakar pada sistem patriarki, yang tidak kondusif bagi berkembangnya kesetaraan gender (gender equality). Pembagian tugas yang dianggap normal adalah jika laki-laki menangani kegiatan produktif, dan perempuan menangani kegiatan domestik seperti mengasuh anak dan mengurus rumahtangga. Keadaan ini tidak bisa dilawan secara frontal dengan mengubah pondasi budaya yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, namun secara bijak dapat disiasati melalui peningkatan kapasitas sumberdaya intelektual perempuan.
Kendala terbesar kaum perempuan selama ini adalah mereka tidak memahami bahwa mereka berada dalam posisi tersubordinasi. Minimnya pengetahuan membuat banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka terdiskriminasi dan dieksploitasi, bahkan ironisnya banyak pula yang menganggap segala bentuk ketidakadilan yang mereka alami adalah sebuah kewajaran yang harus diterima. Diskriminasi struktural terhadap perempuan lazim terjadi tanpa disadari oleh para perempuan yang menjadi korbannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut; "mengapa perempuan harus memberontak? Dan bagaimana pemberontakan itu harus dilakukan?"
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai adalah "untuk mendiskripsikan sebab-sebab dan cara pemberontakan perempuan yang sesuai dengan perjuangan kesetaraan gender, dengan mengaca muatan dari Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan".
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti merasa "tidak tahu mengenai apa yang tidak ia ketahuinya''. Sehingga disain penelitian yang dikembangkan selalu merupakan kemungkinan yang terbuka akan berbagai perubahan yang diperlukan dan lentur terhadap kondisi yang ada di lapangan pengamatannya. Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Dalam menganalisis teks sastra haruslah digunakan teori-teori sastra. Sastra adalah sebuah gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Gambaran kehidupan sosial yang dialami perempuan dalam novel "Tuhan, Izinkan aku Menjadi Pelacur" merupakan sebagian kecil dari kenyataan sosial dalam kehidupan. Untuk itu menarik untuk dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra dengan pendekatan mimetik.
Dari penelitian ini diharapkan dapat ditarik suatu simpulan bahwa Jika kapasitas intelektual perempuan telah terbangun, perempuan tidak perlu lagi meminta agar diberi hak istimewa (privilage) oleh sistem yang patriarkis untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu. Hal ini sesuai dengan kaidah kesetaraan gender, dimana kesetaraan sejatinya bukanlah sesuatu yang given atau dianugerahkan, melainkan harus diperjuangkan sendiri oleh kaum perempuan.


B. Latar Belakang Masalah
Telah menjadi kebiasaan dalam budaya kita, pendidikan anak perempuan seakan tidak boleh lebih tinggi ketimbang laki-laki. Perempuan tidak lebih sebagai pelengkap bagi laki-laki, yang secara sadar atau tidak telah mulai ditanamkan sejak mereka masih belia. Mulai cara memilih pakaian, mainan, cara berjalan, bahka cara mensikapi sesuatu. Hal-hal yang bersifat cengeng dan lemah seolah identik dengan perempuan. Sedangkan yang kuat, berani bahkan nakal pun menjadi lumrah bila yang melakukan laki-laki.
Pemikir yang memiliki sejumlah keahlian dan dianggap paling liberal, az-Zamakhsyari, menyatakan bahwa laki-laki memang lebih unggul ketimbang perempuan. Keunggulan itu meliputi akal, ketegasan, semangat, keperkasaan dan keberanian atau ketangkasan. Karenanya, kenabian, keulamaan, kepemimpinan besar yang bersifat publik dan jihad hanya diperuntukkan bagi laki-laki (az-Zamakhsyari, tt: 523).
Fahruddin ar-Razi juga mempercayai superioritas laki-laki atas perempuan dengan sejumlah alasan ilmu pengetahuan dan kemampuan. Menurutnya, akal dan pengetahuan laki-laki lebih banyak dan luas, dengan demikian mereka dapat melakukan kerja keras lebih prima dari pada perempuan. Ini merupakan sifat-sifat yang hakiki (Fahrudin ar-Razi, tt: 88).
Dengan berbagai alasan; dari etika, budaya, sosial, mitos, bahkan agama, bersambungan menggelayuti langkah anak perempuan untuk berkembang. Alih-alih ingin menunjukkan potensi diri, malah yang mereka dapat adalah cap sebagai perempuan yang tidak tahu unggah ungguh (tata kesopanan) oleh lingkungannya.
Maraknya diskursus tentang kesetaraan gender adalah sesuatu yang wajar, mengingat kini fakta-fakta terkait ketidaksetaraan gender masih jelas terpampang di depan mata. Diskriminasi, perlakuan tak adil, eksploitasi, pelecehan, penistaan, masih sering dialami perempuan di mana-mana. Kendati keadaannya sudah jauh lebih baik daripada era Kartini, akan tetapi berbagai kasus di atas setidaknya bisa dijadikan pranala bahwa perjuangan mencapai kesetaraan gender di Indonesia masih belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan.
Salah satu penyebabnya adalah karena masih adanya kekeliruan pemahaman, dimana kesetaraan gender dianggap sebagai pertarungan konfrontatif perempuan vis a vis laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai penakluk (conquerer) dan perempuan adalah pihak yang ditaklukkan (conquered), dimana perjuangan mencapai kesetaraan gender dipandang sebagai upaya pembalikan posisi di antara keduanya. Padahal inti dari kesetaraan gender bukan meneguhkan siapa yang mendominasi dan didominasi, melainkan menemukan koridor untuk saling berbagi secara adil dalam segala aktivitas kehidupan tanpa membedakan pelakunya laki-laki ataupun perempuan.
Sementara itu, perjuangan mencapai kesetaraan gender juga masih dilakukan secara parsial, sekadar upaya ‘melawan’ dominasi laki-laki atas perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan. Tingkat kesetaraan pada akhirnya cenderung diukur secara kuantitatif, dihitung dari jumlah representasi perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Tidak mengherankan jika pada masa lalu pernah ada kebijakan yang mengharuskan keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30 persen. Hal itu merupakan imbas dari pemikiran kuantitatif, yang menganggap capaian angka-angka lebih penting daripada kualitas perseorangan (Depkominfo, Blogs).
Banyak orang membicarakan kesetaraan gender, akan tetapi yang dikemukakan kemudian adalah data-data tentang berapa jumlah perempuan yang menjadi presiden, menteri, jenderal, dirjen, kepala, direktur, anggota legislatif, dan sebagainya. Pola pikir semacam ini tidak salah, namun juga tidak bisa dikatakan seratus persen benar, karena sejatinya esensi kesetaraan gender jauh lebih dalam dari sekadar kuantitas perempuan yang berhasil memasuki ‘ranah’ laki-laki.
Dari pemahaman tentang kesataraan gender yang benar, maka kita baru dapat memilah berbagai karya sastra yang benar-benar membicarakan keberadaan perempuan dengan benar pula. Sebab terlalu banyak karya sastra yang memperbincangkan perempuan, namun lebih banyak sebagai obyek penderita semata.
Tetapi tidak sedikit pula karya sastra, terutama novel, yang bercerita dengan menempatkan perempuan pada 'tempatnya' atau sedang memperjuangkan agar benar-benar sesuai dengan keadilan gender. Misalnya; "Perempuan di Titik Nol" karya Nawal el-Sadawi, "Istri" karya Bharati Mukherjee, "Perempuan Berkalung Sorban" karya Ebidah el-Khaliqie, dan "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur" karya Muhidin M. Dahlan, serta banyak lagi.
Ketertarikan pada novel yang terakhir tersebut, lebih dikarenakan novel ini --menurut pengakuan penulisnya-- berdasarkan memoar seorang aktifis muslimah yang memegang teguh pada ajaran agamanya, berubah menjadi pemberontakan terhadap fakta banyaknya manusia beragama yang justru berperilaku tidak sesuai dengan ajaran yang ia pahami selama ini.
Terlalu banyak perlakuan yang merendahkan martabat keperempuanannya, sehingga ia memutuskan untuk membiarkan pelecehan itu sebagai senjata guna menundukkan kejumawaan laki-laki. Meskipun tampak absurd, pemberontakan ini menarik disikapi sebagai salah satu bentuk pemaparan akan adanya perempuan yang paham dengan eksistensi yang ada pada dirinya.
Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur" menjadi penting dikedepankan, sebagai bagian perjuangan kaum perempuan dalam menggapai kesetaraan yang telah lama ditelikung ketidakadilan gender di masyarakat. Dengan dalih budaya, agama, atau apapun, perempuan dinomorduakan dibanding laki-laki.
Dengan melihat hal-hal tersebut, maka penulis memilih judul; Pemberontakan Perempuan dalam Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut; mengapa perempuan harus memberontak? Dan bagaimana pemberontakan itu harus dilakukan?

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mendiskripsikan sebab-sebab dan cara pemberontakan perempuan yang sesuai dengan perjuangan kesetaraan gender, dengan mengaca muatan dari Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sebab-sebab ketidakadilan terhadap perempuan, sehingga menimbulkan gerakan pemberontakan dari perempuan.
2. Mengetahui cara melakukan pemberontakan yang sesuai dengan perjuangan kesetaraan gender agar tidak malah menjerumuskan perempuan itu sendiri.

F. Definisi Istilah
Supaya tidak menimbulkan kesalahan tafsir terhadap pengertian judul, berikut ditegaskan beberapa istilah sebagai berikut:
1. Pemberontakan
Pemberontakan adalah pengingkaran akan kebiasaan yang sudah diakui kebenarannya oleh masyarakat umum baik dalam tradisi, tatanan agama dan pemerintahan (Yusuf Qardhawi, 1997: 243). Pemberontakan lahir dari kesaksian atas sesuatu yang tidak rasional, dan dihadapkan pada sesuatu yang tidak adil serta kondisi yang tidak dapat dipahami (Albert Camus, 1988: 40)
2. Perempuan
Di kalangan para aktivis, kata "perempuan" dianggap lebih "politically correct" dibandingkan dengan "wanita", karena kata "perempuan" berasal dari kata "empu". Sementara kata "wanita" yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "orang yang berhias wajah" (Wikipedia bahasa Indonesia).
3. Novel
Menurut Sudjiman (1992: 53) novel merupakan prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh-tokoh dalam menampilkan serangkaian peristiwa serta latar belakang secara tersusun. Sedangkan menurut Suhariyanto (1982: 42) novel dapat mengungkapkan seluruh episode perjalanan cerita.

G. Kajian Pustaka
Supremasi laki-laki atas perempuan juga dinyatakan Ibnu Katsir. Katanya, laki-laki sudah seharusnya memimpin perempuan, dialah pimpinannya, hakimnya, dan pendidiknya, karena secara inhern laki-laki memang lebih utama dan lebih baik. Oleh karena itu, kenabian dan kekuasaan tertinggi selalu dan hanya diberikan kepada laki-laki (Imaduddin Isma’il bin Katsir, tt.: 491).
Dengan beberapa bukti literal, agama, berperan penting dalam mempengaruhi sikap masyarakat dalam memperlakukan perempuan. Sebab dengan alasan agama, masyarakat masih menganggap bahwa perempuan adalah mahluk yang tidak boleh membaca al-Qur’an dan masuk masjid jika sedang haid, harus menikah muda agar tidak dianggap perawan tua sehingga orang tua boleh memaksa (wali mujbir) untuk menikah, dan begitu sudah menjadi istri anggapan sebagai mahluk yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan seks suami, masih tetap menempel dalam hidup keseharian perempuan.
Memang memahamkan persoalan-persoalan gender berikut implikasinya kepada masyarakat benar-benar mengalami kesulitan luar biasa, terutama bila berhadapan dengan pikiran-pikiran keagamaan. Lebih-lebih jika pikiran-pikiran tersebut disampaikan oleh orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pemilik otoritas kebenaran. Terlebih lagi jika pemegang otoritas tersebut menyampaikannya secara berjamaah. Dan yang terparah jika pikiran-pikiran tersebut telah menjadi keyakinan keagamaan yang diyakini sebagai agama itu sendiri.
Padahal pada kitab yang lain, ar-Razi ketika berbicara tentang apakah penyimpulan berdasarkan teks-teks otoritatif mengharuskan kepastian atau kebenaran satu-satunya yang tidak dapat ditolak. Dengan tegas dan bijak menjawab sendiri pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa kepastian atau keyakinan akan suatu hal hanya dapat terjadi jika telah disertai dengan bukti-bukti empirik (Fahruddin ar-Razi, tt.: 172-178).
Oleh karena itu fakta-fakta empirik yang ada di seputar perempuan perlu disederhanakan dengan dilengkapi teks agama, seperti teks al-Qur’an, Hadits atau fiqh yang relevan dengan hak reproduksi anak perempuan, agar mudah difahami oleh umat. Belajar bahwa Islam pada dasarnya menekankan pada keadilan dan kesetaraan. Laki-laki dan perempuan termasuk dalam kehidupan berumah tangga dan pemenuhan kebutuhan seksual pasangan. Hal ini acap menjadi persoalan yang peka dan sulit disajikan, karena tidak banyak diketahui umat.
Persoalan pelik ini oleh Muhidin M. Dahlan dikemas dalam sebuah karya fiksi, sehingga pembaca lebih mudah mencerna ide yang dipaparkan. Penceritaan yang lancar dan dramatis membuat pembaca tanpa sadar ikut 'menelan' ide yang diungkapkan.
Menurut Nurgiyantoro (1998; 3), fiksi merupakan sebuah cerita yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, dengan diri sendiri serta dengan Tuhan.
Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial seharusnya melakukan pola perilaku beragam di lingkungan sekitar, sehingga akan dapat mengetahui perilaku atau sikap apa saja yang dapat membawa seseorang ke dalam suatu hal yang positif atau suatu tindakan yang negatif.
Dalam menganalisis teks sastra haruslah digunakan teori-teori sastra. Sastra adalah sebuah gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1978: 1). Gambaran kehidupan sosial yang dialami perempuan dalam novel "Tuhan, Izinkan aku Menjadi Pelacur" merupakan sebagian kecil dari kenyataan sosial dalam kehidupan. Untuk itu menarik untuk dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra dengan pendekatan mimetik.
Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari sastra dalam hubungannya dengan kenyataan sosial, di dalam penafsiran teks sastra secara sosiologis menurut Hartoko adalah menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam teks sastra, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan (Redyanto Noor, 2007: 90). Sedangkan pendekatan mimetik digunakan, karena pendekatan ini memandang bahwa karya sastra sebagai tiruan dan pembayangan dunia kehidupan yang nyata (Redyanto Noor, 2007: 34).
Muhidin M. Dahlan lahir pada pertengahan 1978 di Sulawesi Tengah. Pertama kali mengenal gerakan Islam ketika bergabung secara intensif dalam pelajar islam.
Pernah belajar di Universitas Negeri Yogyakarta dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keduanya tidak selesai. Lari atau tepatnya melarikan diri dan terjerembab ke dalam dunia asing-senyap (membaca dan menulis), dan ia menjadikannya profesi menulis untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Bukunya yang sudah terbit ialah: Jalan Menuju Hikmah (2001), Spiritualitas Sosial Shalat Malam (naskah hilang pada tahun 2001 disalah satu penerbit), Mencari Cinta (2003), Cinta sang Kekasih (2003), Terbang Bersama Cinta (2003), Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (2003), Tanah Air Bahasa; Seratus Jejak Pers Indonesia (2003), Jalan Sunyi Seorang Penulis (2002), Amnesti Antologi Cerpen 12 Novelis dan 2 Begawan Sastra Lainnya (2002) dan novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah (2003), serta Novel Adam Hawa (2005).
Selain menjadi editor di beberapa penerbit dan menulis esai sastra, artikel budaya, dan ulasan buku dibeberapa Koran (nasional), ia kini tengah berjibaku mempersiapkan 3 bukunya yang berikutnya: Cinta di Bukit Kemukus, Cinta Ajaib La Galigo, Sang Kala (Roman Sejarah ).
Alasan pemilihan subjek ialah sikap yang diambil perempuan dalam menunjukkan eksistensinya dari suatu keadaan atas kekerasan yang dialaminya, kadang ekstrim dan tidak masuk akal, hal ini yang menarik untuk diteliti dengan analisis sosial.
Jelas bahwa ketidaktahuan (baca: kebodohan) merupakan biang-keladi terjadinya ketidaksetaraan gender serta kenisbian cara pemberontakan atas ketidakadilan ini. Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan bagi kaum perempuan untuk memperluas cakrawala berpikir serta memahami posisi mereka di tengah masyarakat. Seiring dengan peningkatan kapasitas intelektual dan kesadaran posisi perempuan, kemampuan meretas jalan untuk keluar dari subordinasi secara otomatis akan muncul. Di sisi lain, pendidikan juga akan menjadi kunci pembuka pintu gerbang korporasi, dimana dengan tingkat pendidikan yang tinggi perempuan bisa menempatkan dirinya untuk bersaing secara sehat dengan laki-laki di segala lini.
Dalam Islam, pembahasan Alquran tentang perempuan di dunia kebanyakan terpusat pada hubungannya dengan kelompok, yakni dari sistem sosial. Namun, harus juga dipahami bagaimana alquran berfokus pada perempuan sebagai individu, alquran memperlakukan individu, laki-laki maupun perempuan dengan cara betul-betul sama. Berkenaan dengan spiritualitas, hak perempuan tidak berbeda dengan laki-laki. Pada perkembangan saat ini tidak ada perpedaan antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan kemampuan individual. Mengenai aspirasi pribadi, mereka juga sama ( Amina Wadud, 2006:65 ).

H. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan mimetik.
1. Metode Kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti merasa "tidak tahu mengenai apa yang tidak ia ketahuinya''. Sehingga disain penelitian yang dikembangkan selalu merupakan kemungkinan yang terbuka akan berbagai perubahan yang diperlukan dan lentur terhadap kondisi yang ada di lapangan pengamatannya (Maman Rachman, 1993:107). Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Meleong, 1990:3 )

2. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik digunakan, karena pendekatan ini memandang bahwa karya sastra sebagai tiruan dan pembayangan dunia kehidupan yang nyata (Redyanto Noor, 2007: 34). Sehingga pendekatan inilah yang paling tepat digunakan untuk mengupas novel yang oleh pengarangnya diakui sebagai memoar ini.

I. Sistematika Penulisan
Penelitian yang berjudul Pemberontakan Perempuan dalam Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan ini, terdiri atas empat bab dengan sistematika sebagai berikut..
Bab I Pendahuluan, menguraikan latar belakang, permasalahan, tujuan, manfaat penelitian, metode penelitian, landasan teori dan sistematika penulisan.
Bab II menguraikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sebab-sebab pemberontakan perempuan dan langkah-langkah menuju kesetaraan gender dalam masyarakat.
Bab III berisi uraian pemikiran para ahli tentang sebab-sebab pemberontakan perempuan dan langkah-langkah menuju kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.
Bab IV merupakan akhir dari skripsi. Isinya kesimpulan akhir dari materi yang dibahas.


Lampiran:
SINOPSIS

Ia seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk salat, membaca al-Qur'an, dan berzikir. Ia memilih hidup yang sufistik yang demi ghirah kezuhudannya kerap ia hanya mengonsumsi roti ala kadarnya di sebuah pesantren mahasiswa. Cita-citanya hanya satu: untuk menjadi muslimah yang beragama secara kaffah.
Tapi di tengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang ia idealkan bisa mengantarkannya ber-Islam secara kaffah, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang ia ajukan dijawab dengan dogma tertutup. Berkali-kali digugatnya kondisi itu, tapi hanya kehampaan yang hadir. Bahkan Tuhan yang selama ini ia agung-agungkan seperti "lari dari tanggung jawab" dan "emoh" menjawab keluhannya.
Dalam keadaan kosong itulah ia terjerembab dalam dunia hitam. Ia lampiaskan rasa kecewanya dengan free sex dan mengonsumsi obat-obat terlarang. "Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan, 'kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!" katanya setiap kali usai bercinta yang ia lakukan tanpa ada secuil put raut sesal. Dari petualangan seksnya itu tersingkap topeng-topeng kemunafikan dari para aktivis yang meniduri dan ditidurinya –baik aktivis sayap kiri maupun sayap kanan (Islam)—yang selama ini lantang meneriakkan tegaknya moralitas. Bahkan terkuak pula sisi gelap seorang yang bersedia menjadi germonya dalam dunia remang pelacuran yang ternyata anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memerjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Qardhawi, Yusuf, DR. 1997. Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Qur'an dan Sunnah. Terj. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Ar-Razi, Fahruddin. tt. al-Mahshul. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ar-Razi, Fahrudin. tt. al-Tafsir al-Kabir. Juz X. Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud bin Umar. tt. al-Kasyaf al-Haqa’iq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil. juz I. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.

Bin Katsir, Imaduddin Isma’il. tt. Tafsir al-Qur’an al-Azim. Juz I. Surabaya: Syirkat an-Nur Asiya.

Camus, Albert. 1988. Krisis Kebebasan. Terj. Edhi Martono. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Noor, Redyanto. 2007. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Rahman, Maman, Drs, M.Sc.. 1993. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suhariyanto, S. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Bandung: Angkasa.

Wadud, Amina. 2006. Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar