Selasa, 26 Januari 2010

Mahram bagi Perempuan

MAHRAM BAGI PEREMPUAN

“Sandungan” berikutnya bagi perempuan muslimah yang ingin bebas meniti karier di ruang publik adalah konsep mahram bagi perempuan. Yaitu keleluasaan perempuan yang ingin keluar rumah, harus selalu disertai oleh mahramnya. Bila tidak, maka perempuan tersebut akan menimbulkan fitnah dan dihukumi “haram” bila ia tetap memaksa mencari eksistensi di tempat yang jauh dari rumahnya.
Konsep mahram dalam fiqh, masih menjadi perdebatan dan membutuhkan dialog panjang. Sebagian fuqoha beranggapan bahwa mahram merupakan sesuatu yang paten dan tidak bisa dirubah lagi. Dengan kata lain bila perempuan melakukan perjalanan hingga mencapai batas diperbolehkannya shalat jama’ dan qashar, maka ia harus disertai mahram. Sementara di pihak lain, berpendapat bahwa persoalan mahram adalah berkaitan dengan keamanan masyarakat yang masih kesukuan dan nomaden, sehingga ketika keamanan sudah terjamin dan keadaan masyarakat sudah berperadaban, maka bagi perempuan yang akan melakukan perjalanan, mahram tidak lagi membutuhkan.
Tarik menarik dalam kajian fiqh ini, secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan. Pertama, dengan mengusung konsep ihtiyat. Mereka ingin mempertahankan konsep-konsep fiqh sebagai sesuatu yang paten dan baku yang tidak boleh diganggu gugat. Kelompok ini, mempertahankan apa adanya teks-teks fiqh, meskipun realitas masyarakat sudah berubah serta tidak menganggap penting lagi bunyi teks tersebut. Dualisme ini dilakukan karena adanya pandangan bahwa masyarakat sekarang telah masuk dalam kategori ‘mengambil jarak dengan syari’ah’, karena sudah terkontaminasi modernisasi. Argumentasi mereka selalu berpegangan bahwa sebaik-baik masa adalah masa Nabi, dan semakin mendekati zaman akhir semakin buruk pula prilaku masyarakatnya.
Golongan kedua, kelompok yang menghendaki adanya penafsiran ulang terhadap konsep-konsep fiqh yang selama ini hanya dipahami secara normatif dan legal-formalistik. Mereka menginginkan adanya interpretasi ulang terhadap teks-teks yang ada dengan mendasarkan diri pada tujuan pokok syari’ah. Golongan yang terakhir ini, kemudian menjadi mainstrem kuat bagi para fuqoha modern-kontemporer.

A. Memahami Konsep Mahram
Mahram adalah suami atau saudara sedarah dari seseorang laki-laki atau perempuan yang secara hukum haram dinikah. Dalam pembahasan kita kali ini, lebih pada persoalan wajib atau tidaknya seorang perempuan didampingi seorang mahram jika melakukan perjalanan jauh, baik untuk ibadah maupun kebutuhan hajat duniawi yang diperbolehkan syariat.
Menurut mazhab Syafi’I, orang-orang yang dikategorikan sebagai mahram meliputi; suami, para saudara –baik berdasar nasab, persusuan atau musaharah--, atau beberapa perempuan yang dapat dipercaya. Penentuan adanya mahram ini, lebih berdasarkan hadits. Dalam sebuah hadits dikemukakan bahwa seorang perempuan yang ingin melakukan perjalanan harus disertai mahram;




“Dari Ibnu Abbas ra dia mendengar Rasulullah bersabda: “Janganlah sekali-kali kalian perempuan berada di tempat sunyi, kecuali perempuan itu bersama mahramnya, dan janganlah perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.” Maka berkatalah seorang laki-laki: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya istriku pergi haji, sedang saya harus ikut berperang?” Kata Rasul: “Pergilah berhaji bersama istrimu!”.” (HR. Muttafaqun alaih)

Persoalan mahram acap mengemuka ketika seorang perempuan ingin melakukan perjalanan jauh, yakni adakah perempuan itu disertai mahramnya atau tidak. Hal ini sering menjadi persoalan tersendiri, bahkan dapat menjadi faktor penghambat, jika seorang perempuan akan menunaikan haji.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Syatha yang menyatakan bahwa ketika perempuan melaksanakan ibadah haji, maka harus disertai suami, mahram atau beberapa perempuan yang terpercaya. Baginya, perlakuan tersebut dimaksudkan untuk menjaga perjalanan seorang perempuan yang sedang melakukan perjalanan sendirian meskipun dengan jarak yang relatif dekat.
Lebih lanjut Ibnu Syatha mengemukakan, terdapat beberapa hadits yang berbeda tentang batasan minimal berapa hari seorang perempuan yang bepergian harus disertai mahram. Namun ia beranggapan bahwa perbedaan hari yang ada pada beberapa hadits dimaksud, bukan merupakan batasan, karena syarat adanya mahram yang termuat dalam hadits riwayat Ibnu Abbas adalah bersifat mutlak. Artinya, mahram harus tetap ada dalam perjalanan apapun yang dilakukan oleh perempuan.
Bahkan menurut Imam Ahmad bin Hambal, sekalipun ada seorang perempuan kaya dan mampu membiayai dirinya sendiri untuk melakukan ibadah haji, selama ia tidak memiliki mahram yang menyertainya, maka ia tidak diwajibkan untuk berhaji. Hal ini pernah diungkapkan oleh Imam Abu Daud yang menceritakan bahwa ia pernah menanyakan persoalan tersebut kepada Imam Ahmad dan dijawab; perempuan tersebut tidak wajib haji, sebab mahram itu termasuk syarat perjalanan haji.
Sementara Mazhab Syafi’I juga mensyaratkan kepada perempuan yang akan menunaikan ibadah haji agar disertai suami atau mahramnya, atau beberapa perempuan lain yang dapat dipercaya. Tetapi sebagian lainnya mengatakan cukup ditemani satu perempuan yang dapat dipercaya. Pendapat yang sama juga dikemukakan Sayid Sabiq yang masih mensyaratkan mahram bagi perempuan yang berhaji.
Larangan bagi perempuan untuk melaksanakan ibadah haji tanpa disertai mahram, juga disampaikan ulama Malikiyah yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh melakukan perjalanan sehari semalam atau lebih kecuali disertai mahram atau teman yang terpercaya, baik laki-laki atau perempuan, baik sudah baligh atau masih anak-anak, baik muda ataupun sudah tua.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, keduanya menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan melakukan perjalanan, tanpa disertai mahram meskipun untuk beribadah haji. Hal senada diutarakan oleh Imam asy-Syuyuthi yang malah berpandangan bahwa mahram menjadi salah satu syarat dalam melaksanakan ibadah haji.
Akan tetapi, beberapa ulama lainnya beranggapan bahwa hitungan hari merupakan batas penting untuk mewajibkan perempuan yang bepergian harus disertai mahram. Pendapat ini terutama disampaikan oleh ulama Hanafiyah yang memberi batasan minimal tiga hari perempuan yang melakukan perjalanan wajib disertai mahram. Hanya saja, untuk perjalanan yang kurang dari tiga hari, jika perempuan tersebut merasa aman dari fitnah, kesertaan mahram menjadi tidak lagi wajib.
Malah lebih moderat lagi dinyatakan, perempuan diperbolehkan melakukan ibadah haji tanpa mahram, bila ia merasa aman dan bisa menjaga diri. Seperti diungkapkan Syakh Khamim Muhammad ‘Uwaidah, seorang perempuan diperbolehkan melakukan ibadah haji tanpa disertai suaminya, jika tidak dalam keadaan haid dan belum menikah, serta tidak mempunyai mahram.
Alasan keamanan ini seringkali muncul dalam berbagai pendapat mazhab fiqh. Salah satu ulama golongan Syafi’iyyah juga membolehkan perempuan melaksanakan ibadah haji sendirian, jika memang perjalanan itu aman, meskipun ia memiliki mahram.
Para ulama yang memperbolehkan perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai mahram, biasanya berargumentasi karena istri Nabi SAW pernah diijinkan oleh Nabi melakukan ibadah haji tanpa mahram. Namun karena alasan untuk menjaga keamanan, para istri Nabi tersebut dikawal oleh Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf yang jelas bukan bagian dari mahram para istri Nabi.
Namun mayoritas ulama menyatakan bahwa dalam melaksanakan haji wajib, perempuan boleh ‘hanya’ disertai perempuan lain yang dapat dipercaya. Imam Syafi’I misalnya, berpendapat bahwa perempuan dapat melaksanakan ibadah haji bersama dengan perempuan merdeka yang dapat dipercaya. Sementara Imam Malik malah membolehkan perempuan melaksanakan ibadah haji bersama-sama dengan jamaah perempuan.
Jelasnya, perbedaan pendapat para ulama tersebut, makin menegaskan keikutsertaan mahram dalam aktivitas perempuan yang sedang melakukan perjalanan adalah semata untuk menjaga keamanan para perempuan. Bagaimana jika situasi dan kondisinya memang sudah aman?

B. Membumikan Teks
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya kita menengok lagi kondisi sosio-geografis ketika konsep mahram itu dikemukakan. Silakan periksa ulang sejarah Nabi, para sahabat, tabi’in, dan para ulama abad pertengahan yang kitab-kitabnya cukup berpengaruh sampai sekarang. Pada saat itu, mereka tinggal di suatu wilayah yang secara geografis gersang dan dikelilingi gurun sahara, dengan alat transportasi yang masih sangat sederhana. Secara sosiologis, pada saat itu hukum belum tertata dan menjamin perlindungan keamanan pada setiap warganya. Maka sangat wajar bila seorang perempuan sangat berbahaya melakukan perjalanan jauh sendirian. Tidak hanya bahaya dari ancaman ganasnya alam, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah gangguan dari sesama manusia.
Melihat situasi yang melingkupi masa itu, apalagi di tengah tatanan masyarakat yang belum beradab dan kekuasaan patriarkhi yang demikian kuat, maka kepergian perempuan seorang diri tentu sangat berbahaya. Karena itu sangat wajar bila konsep mahram diberlakukan di tengah kondisi sosio-geografis masyarakat yang demikian.
Namun untuk situasi yang sudah aman seperti sekarang ini, yang mana negara sudah dapat menjamin keamanan warganya, maka posisi mahram sebagai pengawal perempuan yang sedang melakukan perjalanan sudah dapat digantikan oleh aturan hukum dan aparat negara.
Terlebih dengan makin pesatnya perkembangan teknologi, alat transportasi sedemikian cepat dan lebih menjamin keamanan bagi setiap penumpangnya, semakin terjaminnya keamanan warga oleh negara, serta makin berdayanya perempuan dalam berbagai bidang, maka konsep mahram yang dianggap membelenggu perempuan modern tersebut perlu ditinjau kembali. Terutama bila kita telah sepakati, bahwa alasan terkuat yang dipakai para ulama tentang mahram ini adalah masalah keamanan semata.
Dalam aktivitas keseharian masyarakat kita, perempuan telah lumrah melakukan suatu perjalanan, baik jauh maupun dekat, tanpa disertai mahram, dan ternyata hal itu tidak membahayakan dirinya. Realitas ini telah membuktikan bahwa keamanan terhadap perempuan yang sedang melakukan perjalanan telah dijamin dan dilindungi oleh negara, serta didukung oleh tatanan sosial masyarakat yang selalu menghendaki keamanan dan ketentraman. Selanjutnya, persyaratan keikutsertaan mahram dalam perjalanan perempuan telah kehilangan relevansinya dan berdiri di awang-awang.
Dengan kata lain, teks-teks agama yang mengatur tentang konsep mahram perlu dipertanyakan lagi agar nantinya tidak muncul anggapan bahwa aturan-aturan agama sudah tidak lagi membumi. Sebab bila tidak, maka akan ditinggalkan oleh kereta zaman yang terus melaju dan putuslah hubungan agama dengan kehidupan umatnya. Sehingga agama menjadi terasing dari umatnya dan tidak akan lagi didengar suaranya dan tidak akan memiliki eksistensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar