Selasa, 26 Januari 2010

Dualisme Najis Kencing

DUALISME NAJISNYA KENCING ANAK
Oleh: A. Choliq Mi'roj


Air kencing atau dalam bahasa Arab biasa disebut baul adalah cairan yang keluar dari lat kelamin laki-laki atau perempuan yang bernama urethra. Menurut istilah fiqh, baul merupakan cairan yang keluar dari salah satu jalan keluarnya kotoran yang ada dalam tubuh manusia atau dikenal dengan istilah qubul dan dikategorikan najis.
Telah diketahui bahwa air kencing adalah najis mutawasithah (sedang) yang harus dicuci atau dibasuh dengan air hingga bersih. Namun ketika masih bayi dan hanya mengkonsumsi air susu ibu (ASI), terjadi pemisahan antara kencing bayi laki-laki dan perempuan. Bagi bayi laki-laki cara mensucikannya cukup diperciki air, sedangkan bagi bayi perempuan harus diperlakukan layaknya terhadap air kencing orang dewasa.
Argumen perbedaan ini, para ulama menyatakan bahwa orang tua dan kerabat lebih bangga dan suka menggendong bayi laki-laki, sehingga ada ‘keringanan’ terhadap cara mensucikannya. Sedang bagi bayi perempuan dianggap kurang membangkitkan kebanggan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan sudah terjadi sejak bayi.
Argumen karena kesukaan terhadap bayi jenis kelamin tertentu, yang kemudian melahirkan pembedaan dalam cara mensucikannya, sungguh merupakan manifestasi diskriminasi para ulama dalam hukum fiqh. Permakluman mungkin dapat dikemukakan di sini, bila melihat bahwa teks fiqh tidak lepas dari fenomena sosial pada saat ‘hukum ‘ diciptakan. Struktur sosial patriarkhi yang melingkupi para ulama fiqh (fuqoha), di mana orang tua lebih bangga mempunyai anak laki-laki dan malu bila memiliki anak perempuan, sangat mempengaruhi keputusan hokum mereka. Sehingga wajar pula jika mereka melahirkan hokum yang diskriminatif.


a. Silang Pendapat Ulama
Dalam menghukumi kenajisan air kencing dari jenis kelamin apapun, para ulama telah bersaepakat, namun dalam cara mencuci najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan sesuatu kecuali ASI, mereka berbeda pendapat. Seperti termaktub dalam kitab Ibanat al-Ahkam:



“Imam Ahmad dan Syafi’I berkata bahwa hal itu merupakan rukhsah (keringanan) bagi bayi laki-laki yang belum makan apapun. Sedang Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik bahwa antara bayi laki-laki dan perempuan sama-sama dibasuh semuanya”

Pendapat Imam Ahmad dan Syafi’I tersebut, lebih berdasar pada hadits:






“Dari Malik dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud dari Umi Qais binti Mahshan bahwa ia (Ummu Qais) dating pada Nabi dengan membawa anak laki-lakinya yang masih kecil dan belum memakan makanan, kemudian Rasulullah memangku bayi itu dan tiba-tiba bayi tersebut mengencingi pakaian Nabi, lalu Nabi meminta air dan memercikkan air tersebut ke bajunya dan tidak mencucinya.”

Dalam hadits yang lain terdapat penjelasan yang serupa:



“Dari Abi Assamuh r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: Kencing anak perempuan dibasuh sedang kencing anak laki-laki diperciki air.” (HR. Abu Daud dan Nasa’I dan disahihkan oleh al-Hakim).

Dari berbagai hadits di atas, menjadi jelas bahwa terdapat perbedaan pendapat yang cukup krusial di kalangan para ulama yang dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa perbedaan cara mensucikan air kencing bagi kedua jenis kelamin bayi tersebut karena didasarkan pada perbedaan kondisi obyektif air kencing anak laki-laki. Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut lebih didasarkan pada konstruksi budaya dan sosial terutama Arab waktu itu yang cenderunng diskriminatif dengan lebih menyayangi dan bangga dengan anak laki-laki. Akibatnya anak laki-laki lebih sering digendong, sehingga fiqh memberi rukhsah (keringanan) terhadap cara mensucikan najis air kencing dari anak laki-laki tersebut. Ketiga, kelompok yang berkeyakinan bahwa ketentuan tersebut sifatnya ubudiyyah, sehingga merupakan ketentuan yang tidak dapat ditawar lagi.
Jelasnya, dari berbagai hadits pendukung di atas dapat disimpulkan bahwa rukhsah yang diberikan Nabi untuk memerciki kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI, tampak lebih dominan. Persoalannya kemudian, apakah perintah tersebut bersifat temporal atau memang berlaku untuk selamanya? Ini tentu membutuhkan jawaban yang rasional beik dari segi interpretasi teks maupun yang menyangkut bidang ilmu lainnya.
Ulama-ulama madzhab terkemuka juga berbeda pendapat dalam menentukan cara menghilangkan najis air kencing anak laki-laki dan perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI. Golongan Syafi’iyyah yang diwakili az-Zuhri, Ahmad Sihaq, Ali Hasan, dan Ibn Wahab menyatakan cukup dengan memercikkan air pada air kencing bayi laki-laki, namun untuk bayi perempuan harus disucikan dengan membasuh sebagaimana membersihkan najis mutawasithah lainnya.
Sementara madzhab al-Auza’I menyamaratakan antara air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI, yaitu dengan cara memercikkan air saja. Sedangkan golongan madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah tetap berpegang pada pendapat bahwa cara membersihkan najis adalah dengan membasuh, termasuk juga terhadap najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan apapun kecuali ASI. Selain itu, ketika anak laki-laki dan perempuan tersebut dewasa pun tidak ada perbedaan dalam cara menghilangkan najis air kencing mereka.

b. Menuju Fiqh yang Berbudaya
Secara umum, kitab-kitab fiqh klasik dan kontemporer memang membedakan cara menghilangkan najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan makanan selain ASI. Bagi najis air kencing bayi laki-laki, cara menghilangkannya cukup dipercikkan air pada tempat yang kena najis. Sedangkan bila terkena najis air kencing bayi perempuan, caranya harus dibasuh dengan air.
Hanya saja argumentasi yang memunculkan rukhsah ini perlu dikaji ulang dengan lebih serius dan teliti. Sebab pembahasan kitab kitab fiqh yang menjelaskan argumentasi terjadinya perbedaan cara menghilangkan najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan tersebut, masih lebih banyak didasarkan pada pandangan yang patriarkhis.
Ibn Daqiq al-Ied misalnya, menjelaskan bahwa perbedaan tersebut disebabkan adanya kecenderungan perasaan yang lebih kepada laki-laki dari pada perempuan, sehingga bayi laki-laki lebih sering digendong orang. Karena itu bagi bayi laki-laki diberi rukhsah dalam membersihkan air kencingnya, dengan alasan untuk menghindari kesulitan atau memberatkan orang.
Argumen di atas tentu sangat lemah, bersifat temporal dan terbatas pda konteks sosial budaya di Arab saat itu yang sangat patriarchal, sehingga masyarakat di sana lebih menyukai selalu berdekatan dengan bayi laki-laki ketimbang bayi perempuan. Namun untuk situasi sekarang, di mana orang tua telah menyadari sama penting dan sayangnya antara bayi laki-laki dan perempuan, maka alasan merepotkan atau siapa yang lebih sering digendong , tentu perlu reinterpretasi yang lebih mumpuni.
Sementara al- Husaini mengemukakan, dari segi substansialnya ada dua alas an terjadinya perbedaan tersebut. Pertama, air kencing anak perempuan terpencar-pencar sehingga butuh untuk disiram, berbeda dengan air kencing anak laki-laki yang hanya mengena pada satu tempat. Kedua, air kencing anak perempuan lebih kental, berwarna kuning dan berbau tidak enak serta melekat di tempat, sedang air kencing bayi laki-laki tidak demikian adanya.
Pendapat senada juga dikemukakan asy-Syarbini dan Wahbah az-Zuhaili. Menurut mereka, alasan perbedaan dalam memerciki kencing bayi laki-laki dan membasuh kencing bayi perempuan adalah karena air kencing bayi laki-laki lebih cair dan cepat hilang warna dan baunya, sedang air kencing bayi perempuan lebih kental warna dan baunya serta cepat melekat di tempat yang terkena najis.
Sekarang, dengan perubahan konstruksi budaya dan sosial yang menjadikan tidak adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kesukaan orang tua untuk memiliki dan menggendong bayi laki-laki atau perempuan, sesungguhnya perbedaan terhadap cara mensucikan air kencing bagi bayi laki-laki dan perempuan itu patut dipertanyakan kembali.
Alasan keterpencaran air kencing bayi perempuan juga tidak menemukan argumentasi logis. Sebab bagaimanapun keadaannya, kencing tetaplah berupa air yang bila tertumpah, baik dari bayi laki-laki maupun bayi perempuan, tetap akan terpencar dan merambah kemana-mana, apalagi bila yang terkena berupa kain yang mudah menyerap.
Kalaupun kemudian muncul juga alasan yang lain, misalnya dari aspek zat yakni bahwa air kencing bayi perempuan lebih kental, berwarna kuning, berbau tidak enak dan melekat, dan perbedaan kondisi obyektif alat kelamin antara bayi laki-laki dan perempuan, sehingga membuat perbedaan pancaran air kencing yang kemudian membuat adanya perlakuan berbeda terhadap cara mensucikan air kencing bagi bayi laki-laki dan perempuan, maka alasan tersebut harus dicari urgensinya dan dibuktikan secara ilmiah.
Seperti yang diungkapkan dr. Reni Bunjamin, bahwa kalau dilihat dari segi fisiologis ginjal maka tidak ditemukan adanya perbedaan komposisi pada bayi laki-laki dan perempuan. Perbedaan itu baru tampak setelah masa baligh karena ada perbedaan jenis hormon yang dihasilkan keduanya. Sedangkan pekat dan tidaknya air kencing bayi, lebih ditentukan oleh jumlah cairan yang dikonsumsi oleh bayi laki-laki maupun perempuan tersebut. Artinya, semakin banyak mengkonsumsi cairan maka air kencing akan semakin encer dan berwarna lebih jernih. Jadi air kencing bayi laki-laki dan perempuan itu sama, karena sama-sama keluar dari urethra atau saluran kencing, bukan dari saluran reproduksi.
Bagaimanapun air kencing bayi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama najis, yang bersifat kodrati (bawaan) sejak bayi lahir. Melihat kenyataan di atas, tentu saja air kencing dari kedua jenis kelamin bayi tersebut harus mendapat perlakuan sama dalam cara mensucikannya. Dengan kata lain, perbedaan antara memerciki dan membasuh tersebut merupakan konstruksi budaya yang tendensius dan berbau patriarkhis. Seiring dengan perubahan budaya dan konstruksi sosial yang semakin baik, maka hukum pun harus mengalami perubahan.
Jika kebanggaan atas bayi laki-laki dan perempuan telah sama, maka ketika mensucikan air kencing bayi laki-laki mendapat rukhsah sehingga cara mensucikannya cukup diperciki air, maka air kencing bayi perempuan juga perlu diperlakukan sama. Atau untuk lebih berhati-hati, alangkah bijak bila mengnambil pendapat Hanafiyah dan Malikiyah yang menyamakan air kencing bayi laki-laki maupun perempuan dengan air kencing orang dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar