Sabtu, 30 Januari 2010

Filsafat Etika

ETIKA TELEOLOGI (EUDEMONISME) ARISTOTELES:
KEMBALI KE KEBAJIKAN MORAL
Oleh: Abdul Choliq Mi'roj

Hanya seseorang yang memiliki karakter yang terbentuk dengan baik dapat memperoleh manfaat dari studi abstrak etika, karena hanya orang semacam itu dapat berlaku universal dengan benar mempertimbangkan kasus-kasus tertentu, untuk melakukan hal ini diperlukan intuisi.
(Aristoteles)


A. PENDAHULUAN

Sejak era Aristoteles filsafat dibagi ke dalam filsafat teoritis dan filsafat praktis. Yang teoritis merefleksikan realitas yang ada, yang praktis bertanya bagaimana kita harus bertindak.
Etika, termasuk filsafat praktis. Etika tidak hanya bertanya bagaimana manusia bertindak, melainkan bagaimana ia seharusnya bertindak. Bukan seakan-akan etika dapat langsung menentukan bagaimana kita harus bertindak secara kongkrit, akan tetapi, etika menawarkan pertimbangan-pertimbangan yang hendaknya kita pergunakan untuk menentukan sendiri keputusan dan tindakan yang tepat.
Teori yang ditawarkan Aristoteles rupanya ingin menjawab pertanyaan yang umum ditanyakan setiap manusia; apa yang membuat hidup itu baik, apa yang membuat hidup itu layak kita jalani, apa yang harus kita lakukan supaya kita bukan hanya hidup, tetapi hidup yang baik?
Hidup yang baik, kata Aristoteles, adalah hidup yang bahagia. Jadi baik itu bahagia. Tetapi ada banyak baik di dunia ini; good birth, good healt, good look, good luck, good reputation, good friends, good money, and goodness. Apa hubungannya “baik-baik” yang banyak itu dengan bahagia? Menurut Aristoteles, hidup yang bahagia adalah hidup yang sempurna karena memiliki semua hal yang baik seperti keturunan, kesehatan, ketampanan, peruntungan, reputasi, persahabatan, kekayaan, dan lain-lain. Hal-hal yang baik itu adalah komponen kebahagiaan. Semuanya kita cari untuk mencari kebahagiaan.
Ini berarti bahwa kebahagiaan adalah keinginan kita terakhir. Kebaikan lainnya kita kejar demi meraih kebahagiaan. Kebahagiaan kita raih tidak untuk tujuan lainnya. Kebaikan adalah summum bonum, kebaikan tertinggi. Demikian pernyataan Aristoteles yang paling terkenal dan selalu menjadi perbincangan para filosof tentang kebahagiaan dalam hidup. Kebahagiaan diinginkan untuknya sendiri, tidak untuk lainya. Tetapi kehormatan, kesenangan, pemikiran dan setiap kebaikan, kita pilih untuk meraih kebahagiaan, dengan mengambil keputusan bahwa melalui kebaikan-kebaikan itulah kita akan bahagia. Pada sisi yang lain, orang memilih kebahagiaan tidak untuk kebaikan lainnya. Jadi kebahagiaan adalah sesuatu yang final dan mencukupi sendiri.
Aristoteles pernah menyatakan, bahwa tidak ada orang yang berwajah buruk dan dari keturunan yang buruk hidup bahagia. Sebab ia menyebutkan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan yang berlangsung lama adalah good birth, good healt, good look, good luck, good reputation, good friends, good money, and goodness. Karena itu, Aritoteles mengutip ucapan Simonid kepada istrinya, ketika ditanya mana yang lebih baik menjadi orang bijak (seperti filsuf) atau orang kaya. “Orang kaya, karena kita melihat orang bijak menghabiskan waktunya di depan pintu orang kaya.”


B. PEMBAHASAN

a. Sekilas tentang Aristoteles
Sebelum memperbincangkan pemikiran-pemikiran Aristoteles, khususnya di bidang Etika, akan lebih mudah jika kenali dahulu sejarah hidupnya;
Aristoteles lahir di Stagira, Macedonia, Timur Laut Thrace pada tahun 384 SM. Ayahnya adalah seorang ahli fisika yang ternama, yang mengabdi kepada Amyntas II, penguasa Macedonia. Kedua orang tuanya meninggal ketika Aristoteles masih berusia muda, sehingga tanggung jawab pendidikannya dialihkan kepada keluarganya. Ketika berusia 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk berguru kepada Plato. Ia belajar di Akademia Plato selama 20 tahun, sampai Plato meninggal.
Setelah Plato meninggal, Aristoteles mengembara bersama Xenokrates. Keduanya menuju Asia Minor dan tinggal di kota Atarneus yang dikuasai murid Plato, Hermeias, selama 3 tahun. Hanya sayangnya, kota tersebut diserang oleh tentara Persia. Hermeias pun ditangkap dan dibawa ke Persia, lalu dibunuh di sana. Aristoteles dan rekannya berhasil menyelamatkan diri. Pada saat di pengasingan, ia mendapat undangan dari raja Macedonia, Philipos, untuk mengajar anaknya Alexander yang baru berusia 13 tahun. Alexander inilah yang dikemudian hari menjadi raja Macedonia dan penguasa yang berhasil merebut kembali Persia. Pada tahun 335 SM, Aristoteles kembali ke Athena. Kemudian pada tahun 531 SM, ia mendirikan pusat pendidikan Akademia di Lyceum, dekat dengan puri Dewa Lyceus, yang disebut Peripatos.
Sebutan Peripatos ini disebabkan dari cara mengajar Aristoteles yang mengikuti metode gurunya, Plato, yakni dengan cara berjalan-jalan. Dari kebiasaan metode mengajar inilah muncul sebutan peripatetic. Namun kedekatan Aristoteles dengan Alexander, membuat Aristoteles tidak nyaman tinggal di Athena, karena dicurigai oleh banyak kalangan. Aristoteles tidak ingin bernasib seperti Socrates yang dihukum mati karena tuduhan yang tidak rasional. Sehingga ia pindah ke Chalcis dan tinggal di sana sampai meninggal pada tahun 322 SM.
Aristoteles adalah ilmuwan terbesar zaman Eropa Kuno dan pendidik Iskandar Agung yang juga merupakan murid sekaligus pengikut Plato. Pengaruhnya sangat besar, dan bahkan mungkin paling besar dari sekian banyak filsuf Yunani. Lebih dari dua abad Aristoteles dianggap sebagai pemegang otoritas intelektual di dunia Barat. Karya-karyanya tetap menimbulkan minat dan dikaji secara serius oleh para peminat filsafat.
Filsafat Aristoteles terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Kekayaan bidang kajian Aristoteles dapat ditelusuri melalui berbagai karya yang dihasilkannya. Bahkan bukan hanya jumlah judul yang sangat banyak, melainkan juga bidang kajian yang juga sangat luas dan mencakup astronomi, zoology, geografi, embriologi, geologi, fisika, anatomi, dan psikologi. Aristoteles mampu membuktikan dirinya sebagai filsuf orisinil. Poedjawijatna mengungkap pokok-pokok filsafat Aristoteles menjadi empat pembahasan utama, yakni logika, fisika, metafisika, dan etika.

b. Etika Eudemonisme
Pembahasan kita fokuskan pada persoalan etika yang digagas oleh Aristoteles. Yakni etika Teleologi atau sering juga disebut dengan Eudemonisme. Karena etika ini cukup menyita perbincangan para pemikir dan praktisi di bidang etika.
Prinsip dasar etika Aristoteles adalah bahwa kita hendaknya hidup dan bertindak sedemikian rupa, sehingga kita mencapai hidup yang baik, bermutu, dan berhasil. Hidup kita berhasil apabila kita mencapai tujuan terakhir yang kita cari melalui segala usaha kita, yakni kebahagiaan, yang dalam bahasa Yunani disebut dengan eudaimonia. Maka etika Aristoteles disebut dengan eudemonisme. Kebahagiaan akan semakin kita nikmati, jika kita merealisasikan potensi-potensi kita sebagai manusia. Etika menawarkan petunjuk ke hidup bahagia tersebut. Atau disebut juga dengan Teleologi, yakni teori atau ajaran bahwa semua kejadian (setiap gejala) terarah pada suatu tujuan. Adapun tujuan akhirnya adalah kebahagiaan.
Etika adalah ilmu tentang hidup yang baik. Semakin bermutu hidup manusia, semakin ia bahagia. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana manusia harus hidup agar ia bahagia. Pandangan bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan mengejar nikmat, kekayaan atau kedudukan terhormat diperlihatkan sebagai salah. Melainkan manusia menjadi bahagia jika ia merealisasikan diri secara sempurna, dan itu berarti, dengan mengaktifkan kekuatan-kekuatan hakikatnya.
Kekuatan-kekuatan itu adalah kemampuan bagian jiwa manusia yang berakal budi; akal budi murni yang mengangkat diri ke kontemplasi hal-hal abadi (theoria) dan akal budi praktis yang terlaksana dalam kehidupan aktif di tengah masyarakat (etika). Aristoteles tampaknya mengikuti jejak gurunya, Plato, tentang pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Menurutnya, masalah etika adalah masalah yang rumit dan sangat komplek.
Menurut Aristoteles, kebaikan tertinggi atau yang biasa disebut summum bonum adalah puncak dari segala tujuan. Semua yang ada dalam hidup ini hanyalah alat untuk mencapai tujuan tertinggi itu. Kekayaan, kemuliaan, reputasi, kesempatan dan sejenisnya hanyalah alat untuk mencapai sesuatu yang lain. Sementara kebaikan tertinggi adalah sesuatu yang lain, yang diperoleh dengan alat-alat, sarana. Kebaikan tertinggi merupakan suatu pemberhentian pada diri sendiri. Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan tujuan akhir, bukan sebagai alat untuk mencapai yang lainnya. Bagaimanapun, kebahagiaan dapat diperoleh melalui berbagai cara. Namun, tidak semua kebahagiaan dinamakan suatu kebaikan. Oleh karena itu, untuk mengisi hidup menjadi lebih bermakna, meliputi sarana dan cara-cara memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan mesti terletak dalam kegiatan yang khas bagi manusia dan itulah kegiatan bagian jiwa yang berakal budi. Maka nilai tertinggi, kebahagiaan, tercapai apabila manusia menggiatkan akal budi, baik secara murni dalam kontemplasi filosofis, maupun dengan cara aktif melibatkan diri dalam kehidupan komunitas. Manusia hanya dapat bahagia apabila ia tidak bersikap pasif, melainkan aktif. Untuk itu, yang harus diaktifkan adalah kemampuan khas manusia, yakni akal budi.
Tujuan eksistensi manusia adalah untuk melakukan hal-hal seperti keberanian, keadilan dan kebajikan moral yang lain, kebijaksanaan, ilmu pengetahuan dan intelektual berdasar kebajikan, yang dapat membuat orang yang mampu melakukannya dengan baik.
Perhatikan bahwa tujuannya bukanlah untuk mengembangkan atau memiliki kebajikan ini, tetapi untuk melakukan hal-hal yang mereka buat dan dapat melakukannya dengan baik. Untuk dapat melakukannya dengan baik maka perlu untuk mengembangkan kebajikan, tapi intinya adalah untuk melakukannya, bukan hanya untuk mengerti. Inilah yang membedakan teori Aristoteles dari 'realisasi diri' teori-teori etika yang populer di abad ke-19, yang menurut tujuan kode etik adalah untuk menyempurnakan diri sendiri, untuk mengembangkan potensi seseorang dengan penuh, untuk menjadi manusia yang mengagumkan; tujuan menurut Aristoteles bukanlah untuk menjadi, tetapi harus dilakukan.
Memberi pengertian ‘baik’ harus diterapkan pada hasil maksimal dari fungsi suatu objek. Misalnya, gelas dapat dikatakan baik jika dapat menampung air dengan sempurna. Pola ini dapat dianalogikan pada kehidupan manusia. Manusia dapat dikatakan baik jika ia mampu mengemban tugas untuk apa ia diciptakan. Tujuan dari semua objek bukanlah kesamaan apa yang dimiliki objek lain, melainkan apa yang menjadi ciri khasnya. Manusia berbeda dengan hewan, karena manusia diciptakan sebagai makhluk rasional yang dianugerahi kemampuan daya pikir. Jadi, ukuran baik bagi manusia terletak pada kemampuan mendayagunakan daya pikirnya dengan maksimal.
Manusia memiliki elemen-elemen yang hampir sama dengan hewan, seperti insting dan kapasitas spiritual. Hidup yang baik bagi manusia adalah kemampuannya dalam mengorganisir elemen-elemen tersebut dengan wajar. Karena ketidakseimbangan dalam pengaturan elemen-elemen itu akan berakibat pada ketidakstabilan seseorang. Elemen hewani harus ditundukkan di bawah kapasitas spiritual manusia.
Kebajikan yang tinggi, merupakan hal yang sangat sulit untuk direalisasikan oleh manusia, sekalipun ia memiliki kemampuan dan kapasitas untuk itu. Kebajikan yang telah menjadi kebiasaan menempati posisi puncak dari hidup manusia.
Aristoteles dalam Nichomacean Ethics buku VI.13 membedakan kebajikan 'alami' (apa yang kita sebut temperamen) dari kebajikan moral 'dalam arti sempit'. Seseorang mungkin dilahirkan dengan temperamen tenang atau berani, "tapi kita mencari kehadiran kualitas tersebut dengan cara lain”.

Moral kebajikan dalam arti sempit adalah penyerahan satu perasaan dan tindakan di luar akal. Seseorang dengan temperamen atau jiwa yang tenang akan memiliki kebajikan yang sesuai yakni tenang atau bersemangat. Jadi, kebajikan bukan bagian emosional dari jiwa rasional, dalam arti bahwa perasaan dapat dimodifikasi oleh pikiran - 'mendengarkan', 'taat', 'terbujuk’ oleh alas an.

Kebajikan moral bukan bawaan temperamen. Hal ini dikembangkan dalam perjalanan hidup seseorang dengan habituasi. Hal ini tidak berlaku untuk semua kebajikan; ketajaman pisau bukan merupakan kebiasaan, kebajikan intelektual tidak kebiasaan tetapi kebajikan dari bagian jiwa yang dapat dipengaruhi oleh kebiasaan pemikiran. 'Batu yang secara alami bergerak ke bawah tidak bisa terbiasa untuk bergerak ke atas, bahkan jika seseorang mencoba untuk melatih itu dengan melemparkan ke atas sepuluh ribu kali. Artinya, kebajikan tidak bertentangan dengan alam. Melakukan kebajikan muncul dalam diri kita, melainkan kita diadaptasi oleh alam untuk menerima mereka, dan dibuat sempurna oleh kebiasaan. Sifat manusia dan temperamen pribadi dengan alam superadded meninggalkan hubungan antara perasaan dan berpikir agak tak jelas, sehingga ada ruang untuk pengembangan kebiasaan 'merasa cukup'. "Ini bukan dengan sering melihat bahwa kita mendapatkan indra penglihatan, tetapi kebajikan kita melatih mereka dengan terlebih dahulu kita menjadi hanya dengan hanya melakukan tindakan, berani dengan melakukan tindakan berani”. Setiap kali kita berhasil menahan perasaan dengan memikirkan apakah sesuai dengan situasi yang kita buat lebih mudah untuk melakukan hal yang sama waktu berikutnya; setiap kali kita berpikir panjang memanjakan perasaan kita lebih sulit untuk menahan perasaan seperti itu di masa depan.
Simpulan dari paparan tersebut, menurut Aristoteles, ada dua kebajikan; kebajikan moral dan kebajikan intelektual. Kebajikan moral adalah sarana untuk memperoleh nilai-nilai lain, sementara kebajikan intelektual berakhir pada diri sendiri, dalam artian bahwa kebajikannya akan tetap melekat sekalipun tidak terpakai lagi.
Kedua macam kebajikan itu dapat diilustrasikan sebagai mawas diri (iffah, temperance), yaitu sikap mengendalikan diri dan menghindarkan diri dari perbuatan hina. Kebaikan itu disebut kebajikan moral karena berfungsi sebagai pencapaian tujuan lain, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Sedangkan pengetahuan dan apresiasi terhadap keindahan adalah kebajikan intelektual sebab mengandung kebaikan pada dirinya.
Salah satu karakteristik etika Aristoteles yang terpenting ialah apa yang disebut sebagai jalan tengah (golden mean). Kebajikan moral merupakan jalan tengah antara dua sikap ekstrim. Semua aktivitas manusia dikatakan baik jika memperhatikan keseimbangan, tidak terlalu sedikit juga tidak terlampau banyak. Dermawan ialah perbuatan baik antara boros dengan pelit. Keberanian adalah menjaga keseimbangan antara pengecut dengan nekad atau sembrono. Di antara rendah diri dan kesombongan ada kerendahan hati. Dan di antara kerahasiaan dan keterbukaan ada kejujuran.
Setiap hari kita melakukan pilihan. Kita memilih yang benar apabila kita memilih yang lebih baik di atas yang kurang baik. Dalam melakukan pilihan itu, kita bukan saja melihat data yang ada tetapi kemungkinan di masa depan. Seringkali yang kurang baik kita korbankan demi sesuatu yang lebih baik di masa depan. Pilihan-pilihan itu dilakukan dengan menggunakan akal. Ketika kita mendapatkan hadiah uang yang banyak, kita harus memilih penggunaan uang itu antara berpesta atau berinvestasi. Orang bijak yang menggunakan akalnya, akan menangguhkan kesenangan yang cepat demi kebahagiaan di masa depan
Aristoteles mengecam orang yang mengambil pilihan pada kesenangan jasmaniyah yang mengorbankan kebahagiaan. Kesenangan jasmaniyah sebentar tapi penderitaan yang diakibatkannya bisa berkepanjangan. Kebahagiaan harus berupa kesenangan, tapi kesenangan jiwa. Kebahagiaan datang hanya kalau kesenangan jiwa ini dinikmati dalam mencari kebenaran. Tetapi kesenangan jiwa terlalu abstrak, kata kaum hedonis. Tidak ada jeleknya menikmati kesenangan jasmaniah, asal kita mengendalikannya dengan akal.
Guna menentukan pilihan-pilihan dengan tepat, maka dalam mempertimbangkannya kita harus bersikap adil. Namun untuk menjadi adil, menurut Aristoteles, manusia harus bertindak dengan adil, padahal untuk bertindak dengan adil, ia sudah mesti adil. Setiap manusia mempunyai bakat alami untuk menjadi adil, tetapi kita hanya menjadi adil melalui latihan, jadi dengan terus menerus bertindak dengan adil. Perlu diperhatikan bahwa orang baru bertindak dengan adil, jika bukan hanya tindakannya secara obyektif kelihatan adil, melainkan apabila tindakan itu dilakukan dengan sikap batin yang memang adil.
Keadilan bukan berarti memberikan perlakuan yang sama pada setiap orang, sebab setiap individu manusia tidaklah sama, apa yang pantas diperlakukan pada seseorang bias jadi tidak cocok untuk diperlakukan kepada orang lain. Keadilan yang sebenarnya ialah perlakuan yang seimbang dan adil sesuai dengan proporsinya. Keadilan juga berarti memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mendapatkan apa yang diperlukan demi mencapai hidup yang baik, sejauh dapat dicapai tanpa merugikan pihak lain, tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat lingkungan dan norma-norma masyarakat di mana ia hidup.
Keadilan sangat membutuhkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu mencakup hidup yang lebih baik pada umumnya. Secara lebih spesifik, Aristoteles mendefisikannya sebagai disposisi atau sikap tetap dalam bertindak sesuai dengan pengertian benar mengenai manusia dan apa yang baik baginya. Tuhan atau alam yang abadi. Secara sederhana, orang itu bijaksana apabila tahu menjalani hidup yang bermutu.
Aristoteles memperhatikan bahwa kebijaksanaan tidak pernah dapat sempurna. Suatu ketrampilan dapat di kuasai sepenuhnya sehingga suatu hasil karya itu tidak ada cacatnya. Akan tetapi kebijaksanaan selalu harus dimulai baru. Maka kalau orang yang sangat terampil dengan sengaja membuat kesalahan, jadi melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma, hal itu membuktikan betapa sempurna ia menguasai ilmunya. Sedangkan apabila orang dengan sengaja bertindak dengan tidak bijaksana, hal itu justru tidak bijaksana dan tidak pernah terpuji.
Berbeda dengan pengetahuan ilmiah, kebijaksanaan selalu mengenai hal-hal yang dapat berubah, itulah tindakan manusia. Karena hanya kalau sesuatu dapat begini atau begitu, maka masuk akal kita mempertimbangkan bagaimana kita melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Lagi pula kebijaksanaan selalu mengenai hal konkret, jadi tidak mengenai prinsip-prinsip abstak. Kebijaksanaan tidak dipelukan pengetahuan ilmiah, melainkan orang harus berpengalaman. Pengalaman mengajarkan kebijaksanaan.
Jadi, orang bijaksana adalah orang yang baik membuat pertimbangan. Tetapi tidak ada orang yang mempertimbangkan sesuatu yang bagaimanapun juga berada di luar kemampuannya. Maka jika ilmu berdasarkan bukti-bukti, sedangkan hal-hal yang prinsip-prinsipnya dapat berubah tidak dapat dibuktikan, maka jelaslah bahwa kebijaksanaan itu bukanlah ilmu dan bukan pula ketrampilan, karena bertindak dan membuat adalah dua hal yang berbeda. Perbuatan mempunyai tujuan di luar dirinya, sedang tindakan tidak. Berbuat dengan baik merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Maka yang tersisa hanyalah bahwa kebijaksanaan merupakan sikap yang mencari pengertian benar melalui tindakan yang menyangkut apa yang baik dan buruk bagi manusia.


C. PENUTUP

Seperti diketahui bahwa setiap tindakan (praxis) dan setiap keputusan, begitu pula setiap ketrampilan dan setiap ajaran nampaknya selalu mengejar salah satu nilai. Oleh karena itu, tepatlah bahwa suatu nilai selalu disebut dan dikejar oleh semua. Akan tetapi ada perbedaan dalam tujuan-tujuan, ada kegiatan sendiri menjadi tujuan, ada di mana karya-karya yang dihasilkan dari kegiatan sendiri menjadi tujuannya. Sedangkan tujuannya bukan tindakan itu sendiri, karya atau hasil tindakan itu secara kodrati lebih bernilai daripada kegiatan itu.
Karena ada banyak tindakan, ketrampilan dan ilmu, maka ada juga banyak tujuan; tujuan ilmu perang adalah kemenangan, tujuan ilmu kedokteran adalah kesehatan, tujuan ilmu ekonomi adalah kekayaan. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan, apakah kegiatan-kegiatan itu sendiri yang merupakan tujuan tindakan atau hasil yang dicapai melalui tindakan itu.
Tetapi jika ada suatu tindakan mempunyai tujuan yang kita kehendaki demi dirinya sendiri dan hal-hal lain hanya demi tujuan itu. Jadi jika kita bukannya mengejar segala apa demi sesuatu yang lain lagi, maka jelas bahwa tujuan itu berkaitan dengan ilmu atau kecakapan tertentu.
Namun yang jelas, semua sepakat bahwa kebahagiaan itulah tujuan tertinggi, baik menurut orang kebanyakan maupun menurut mereka yang terdidik, dan mereka menyemakan hidup yang bermutu dan perilaku atau tindakan yang baik dengan kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan unsur penting dalam hidup. Ada banyak cara untuk mendapatkannya. Kesenangan yang dinikmati seseorang dibatasi oleh sifat kemajuan yang dicapai. Orang baik adalah manusia yang mempelajari kepuasan hidup tertinggi yang timbul dari aktivitas yang menopang seluruh kepribadian. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat seperti itu cenderung melumpuhkan kapasitas kemampuannya dalam mendapatkan kesenangan masa depan.
Jadi, orang baik adalah orang yang memiliki sikap yang tepat terhadap dua perasaan yang menyertai segala tindak-tanduk kita. Jika hal sikap bijak ini dapat dilaksanakan, maka diharapkan manusia dapat kembali membangun bumi ini dengan moral yang lebih bijak dan bajik.


Daftar Pustaka

Adam, Peter, et. Al., Virtue in Ancient Philosophy, California: Wardsworth Publishing Company, 1998.

Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. WD Ross dalam The Works of Aristoteles, Oxford: World's Classics', 1928.

Drajat, Amroeni, MA, DR, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005.

Hart, Michael H, Seratus Tokoh paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. XVII, 1995.

Hasan, Fuad, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. II, 2001.

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, Cet. III, 1986.

Jalaluddin Rahmat, Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004.

Poedjawijatna, I.R., Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Pembangunan, Cet. IV, 1978.

Rees, D.A., “Platonism and the Platonic Tradition”, dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Canada: Collier Macmillan, Cet. I, Vol. V, 1967.

Rile, Gilbert, “Plato”, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Canada: Collier Macmillan, Cet. I, Vol. V, 1967.

Suseno, Frans Magnis, Tiga Belas Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzche, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. VIII, 2006.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi III, Cetakan kelima, 2007.

Selasa, 26 Januari 2010

Dualisme Najis Kencing

DUALISME NAJISNYA KENCING ANAK
Oleh: A. Choliq Mi'roj


Air kencing atau dalam bahasa Arab biasa disebut baul adalah cairan yang keluar dari lat kelamin laki-laki atau perempuan yang bernama urethra. Menurut istilah fiqh, baul merupakan cairan yang keluar dari salah satu jalan keluarnya kotoran yang ada dalam tubuh manusia atau dikenal dengan istilah qubul dan dikategorikan najis.
Telah diketahui bahwa air kencing adalah najis mutawasithah (sedang) yang harus dicuci atau dibasuh dengan air hingga bersih. Namun ketika masih bayi dan hanya mengkonsumsi air susu ibu (ASI), terjadi pemisahan antara kencing bayi laki-laki dan perempuan. Bagi bayi laki-laki cara mensucikannya cukup diperciki air, sedangkan bagi bayi perempuan harus diperlakukan layaknya terhadap air kencing orang dewasa.
Argumen perbedaan ini, para ulama menyatakan bahwa orang tua dan kerabat lebih bangga dan suka menggendong bayi laki-laki, sehingga ada ‘keringanan’ terhadap cara mensucikannya. Sedang bagi bayi perempuan dianggap kurang membangkitkan kebanggan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan sudah terjadi sejak bayi.
Argumen karena kesukaan terhadap bayi jenis kelamin tertentu, yang kemudian melahirkan pembedaan dalam cara mensucikannya, sungguh merupakan manifestasi diskriminasi para ulama dalam hukum fiqh. Permakluman mungkin dapat dikemukakan di sini, bila melihat bahwa teks fiqh tidak lepas dari fenomena sosial pada saat ‘hukum ‘ diciptakan. Struktur sosial patriarkhi yang melingkupi para ulama fiqh (fuqoha), di mana orang tua lebih bangga mempunyai anak laki-laki dan malu bila memiliki anak perempuan, sangat mempengaruhi keputusan hokum mereka. Sehingga wajar pula jika mereka melahirkan hokum yang diskriminatif.


a. Silang Pendapat Ulama
Dalam menghukumi kenajisan air kencing dari jenis kelamin apapun, para ulama telah bersaepakat, namun dalam cara mencuci najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan sesuatu kecuali ASI, mereka berbeda pendapat. Seperti termaktub dalam kitab Ibanat al-Ahkam:



“Imam Ahmad dan Syafi’I berkata bahwa hal itu merupakan rukhsah (keringanan) bagi bayi laki-laki yang belum makan apapun. Sedang Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik bahwa antara bayi laki-laki dan perempuan sama-sama dibasuh semuanya”

Pendapat Imam Ahmad dan Syafi’I tersebut, lebih berdasar pada hadits:






“Dari Malik dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud dari Umi Qais binti Mahshan bahwa ia (Ummu Qais) dating pada Nabi dengan membawa anak laki-lakinya yang masih kecil dan belum memakan makanan, kemudian Rasulullah memangku bayi itu dan tiba-tiba bayi tersebut mengencingi pakaian Nabi, lalu Nabi meminta air dan memercikkan air tersebut ke bajunya dan tidak mencucinya.”

Dalam hadits yang lain terdapat penjelasan yang serupa:



“Dari Abi Assamuh r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: Kencing anak perempuan dibasuh sedang kencing anak laki-laki diperciki air.” (HR. Abu Daud dan Nasa’I dan disahihkan oleh al-Hakim).

Dari berbagai hadits di atas, menjadi jelas bahwa terdapat perbedaan pendapat yang cukup krusial di kalangan para ulama yang dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa perbedaan cara mensucikan air kencing bagi kedua jenis kelamin bayi tersebut karena didasarkan pada perbedaan kondisi obyektif air kencing anak laki-laki. Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut lebih didasarkan pada konstruksi budaya dan sosial terutama Arab waktu itu yang cenderunng diskriminatif dengan lebih menyayangi dan bangga dengan anak laki-laki. Akibatnya anak laki-laki lebih sering digendong, sehingga fiqh memberi rukhsah (keringanan) terhadap cara mensucikan najis air kencing dari anak laki-laki tersebut. Ketiga, kelompok yang berkeyakinan bahwa ketentuan tersebut sifatnya ubudiyyah, sehingga merupakan ketentuan yang tidak dapat ditawar lagi.
Jelasnya, dari berbagai hadits pendukung di atas dapat disimpulkan bahwa rukhsah yang diberikan Nabi untuk memerciki kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI, tampak lebih dominan. Persoalannya kemudian, apakah perintah tersebut bersifat temporal atau memang berlaku untuk selamanya? Ini tentu membutuhkan jawaban yang rasional beik dari segi interpretasi teks maupun yang menyangkut bidang ilmu lainnya.
Ulama-ulama madzhab terkemuka juga berbeda pendapat dalam menentukan cara menghilangkan najis air kencing anak laki-laki dan perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI. Golongan Syafi’iyyah yang diwakili az-Zuhri, Ahmad Sihaq, Ali Hasan, dan Ibn Wahab menyatakan cukup dengan memercikkan air pada air kencing bayi laki-laki, namun untuk bayi perempuan harus disucikan dengan membasuh sebagaimana membersihkan najis mutawasithah lainnya.
Sementara madzhab al-Auza’I menyamaratakan antara air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI, yaitu dengan cara memercikkan air saja. Sedangkan golongan madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah tetap berpegang pada pendapat bahwa cara membersihkan najis adalah dengan membasuh, termasuk juga terhadap najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan apapun kecuali ASI. Selain itu, ketika anak laki-laki dan perempuan tersebut dewasa pun tidak ada perbedaan dalam cara menghilangkan najis air kencing mereka.

b. Menuju Fiqh yang Berbudaya
Secara umum, kitab-kitab fiqh klasik dan kontemporer memang membedakan cara menghilangkan najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan makanan selain ASI. Bagi najis air kencing bayi laki-laki, cara menghilangkannya cukup dipercikkan air pada tempat yang kena najis. Sedangkan bila terkena najis air kencing bayi perempuan, caranya harus dibasuh dengan air.
Hanya saja argumentasi yang memunculkan rukhsah ini perlu dikaji ulang dengan lebih serius dan teliti. Sebab pembahasan kitab kitab fiqh yang menjelaskan argumentasi terjadinya perbedaan cara menghilangkan najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan tersebut, masih lebih banyak didasarkan pada pandangan yang patriarkhis.
Ibn Daqiq al-Ied misalnya, menjelaskan bahwa perbedaan tersebut disebabkan adanya kecenderungan perasaan yang lebih kepada laki-laki dari pada perempuan, sehingga bayi laki-laki lebih sering digendong orang. Karena itu bagi bayi laki-laki diberi rukhsah dalam membersihkan air kencingnya, dengan alasan untuk menghindari kesulitan atau memberatkan orang.
Argumen di atas tentu sangat lemah, bersifat temporal dan terbatas pda konteks sosial budaya di Arab saat itu yang sangat patriarchal, sehingga masyarakat di sana lebih menyukai selalu berdekatan dengan bayi laki-laki ketimbang bayi perempuan. Namun untuk situasi sekarang, di mana orang tua telah menyadari sama penting dan sayangnya antara bayi laki-laki dan perempuan, maka alasan merepotkan atau siapa yang lebih sering digendong , tentu perlu reinterpretasi yang lebih mumpuni.
Sementara al- Husaini mengemukakan, dari segi substansialnya ada dua alas an terjadinya perbedaan tersebut. Pertama, air kencing anak perempuan terpencar-pencar sehingga butuh untuk disiram, berbeda dengan air kencing anak laki-laki yang hanya mengena pada satu tempat. Kedua, air kencing anak perempuan lebih kental, berwarna kuning dan berbau tidak enak serta melekat di tempat, sedang air kencing bayi laki-laki tidak demikian adanya.
Pendapat senada juga dikemukakan asy-Syarbini dan Wahbah az-Zuhaili. Menurut mereka, alasan perbedaan dalam memerciki kencing bayi laki-laki dan membasuh kencing bayi perempuan adalah karena air kencing bayi laki-laki lebih cair dan cepat hilang warna dan baunya, sedang air kencing bayi perempuan lebih kental warna dan baunya serta cepat melekat di tempat yang terkena najis.
Sekarang, dengan perubahan konstruksi budaya dan sosial yang menjadikan tidak adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kesukaan orang tua untuk memiliki dan menggendong bayi laki-laki atau perempuan, sesungguhnya perbedaan terhadap cara mensucikan air kencing bagi bayi laki-laki dan perempuan itu patut dipertanyakan kembali.
Alasan keterpencaran air kencing bayi perempuan juga tidak menemukan argumentasi logis. Sebab bagaimanapun keadaannya, kencing tetaplah berupa air yang bila tertumpah, baik dari bayi laki-laki maupun bayi perempuan, tetap akan terpencar dan merambah kemana-mana, apalagi bila yang terkena berupa kain yang mudah menyerap.
Kalaupun kemudian muncul juga alasan yang lain, misalnya dari aspek zat yakni bahwa air kencing bayi perempuan lebih kental, berwarna kuning, berbau tidak enak dan melekat, dan perbedaan kondisi obyektif alat kelamin antara bayi laki-laki dan perempuan, sehingga membuat perbedaan pancaran air kencing yang kemudian membuat adanya perlakuan berbeda terhadap cara mensucikan air kencing bagi bayi laki-laki dan perempuan, maka alasan tersebut harus dicari urgensinya dan dibuktikan secara ilmiah.
Seperti yang diungkapkan dr. Reni Bunjamin, bahwa kalau dilihat dari segi fisiologis ginjal maka tidak ditemukan adanya perbedaan komposisi pada bayi laki-laki dan perempuan. Perbedaan itu baru tampak setelah masa baligh karena ada perbedaan jenis hormon yang dihasilkan keduanya. Sedangkan pekat dan tidaknya air kencing bayi, lebih ditentukan oleh jumlah cairan yang dikonsumsi oleh bayi laki-laki maupun perempuan tersebut. Artinya, semakin banyak mengkonsumsi cairan maka air kencing akan semakin encer dan berwarna lebih jernih. Jadi air kencing bayi laki-laki dan perempuan itu sama, karena sama-sama keluar dari urethra atau saluran kencing, bukan dari saluran reproduksi.
Bagaimanapun air kencing bayi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama najis, yang bersifat kodrati (bawaan) sejak bayi lahir. Melihat kenyataan di atas, tentu saja air kencing dari kedua jenis kelamin bayi tersebut harus mendapat perlakuan sama dalam cara mensucikannya. Dengan kata lain, perbedaan antara memerciki dan membasuh tersebut merupakan konstruksi budaya yang tendensius dan berbau patriarkhis. Seiring dengan perubahan budaya dan konstruksi sosial yang semakin baik, maka hukum pun harus mengalami perubahan.
Jika kebanggaan atas bayi laki-laki dan perempuan telah sama, maka ketika mensucikan air kencing bayi laki-laki mendapat rukhsah sehingga cara mensucikannya cukup diperciki air, maka air kencing bayi perempuan juga perlu diperlakukan sama. Atau untuk lebih berhati-hati, alangkah bijak bila mengnambil pendapat Hanafiyah dan Malikiyah yang menyamakan air kencing bayi laki-laki maupun perempuan dengan air kencing orang dewasa.

Pemberontakan Perempuan

PEMBERONTAKAN PEREMPUAN
DALAM NOVEL "TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR!"
KARYA MUHIDIN M. DAHLAN

OLEH
MUSLIKHAH
NPM. 06410251

IKIP PGRI SEMARANG
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JUNI 2009


A. ABSTRAK
Penelitian sederhana ini berjudul Pemberontakan Perempuan dalam Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan.
Harus disadari bahwa mayoritas sistem budaya di Indonesia berakar pada sistem patriarki, yang tidak kondusif bagi berkembangnya kesetaraan gender (gender equality). Pembagian tugas yang dianggap normal adalah jika laki-laki menangani kegiatan produktif, dan perempuan menangani kegiatan domestik seperti mengasuh anak dan mengurus rumahtangga. Keadaan ini tidak bisa dilawan secara frontal dengan mengubah pondasi budaya yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, namun secara bijak dapat disiasati melalui peningkatan kapasitas sumberdaya intelektual perempuan.
Kendala terbesar kaum perempuan selama ini adalah mereka tidak memahami bahwa mereka berada dalam posisi tersubordinasi. Minimnya pengetahuan membuat banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka terdiskriminasi dan dieksploitasi, bahkan ironisnya banyak pula yang menganggap segala bentuk ketidakadilan yang mereka alami adalah sebuah kewajaran yang harus diterima. Diskriminasi struktural terhadap perempuan lazim terjadi tanpa disadari oleh para perempuan yang menjadi korbannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut; "mengapa perempuan harus memberontak? Dan bagaimana pemberontakan itu harus dilakukan?"
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai adalah "untuk mendiskripsikan sebab-sebab dan cara pemberontakan perempuan yang sesuai dengan perjuangan kesetaraan gender, dengan mengaca muatan dari Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan".
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti merasa "tidak tahu mengenai apa yang tidak ia ketahuinya''. Sehingga disain penelitian yang dikembangkan selalu merupakan kemungkinan yang terbuka akan berbagai perubahan yang diperlukan dan lentur terhadap kondisi yang ada di lapangan pengamatannya. Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Dalam menganalisis teks sastra haruslah digunakan teori-teori sastra. Sastra adalah sebuah gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Gambaran kehidupan sosial yang dialami perempuan dalam novel "Tuhan, Izinkan aku Menjadi Pelacur" merupakan sebagian kecil dari kenyataan sosial dalam kehidupan. Untuk itu menarik untuk dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra dengan pendekatan mimetik.
Dari penelitian ini diharapkan dapat ditarik suatu simpulan bahwa Jika kapasitas intelektual perempuan telah terbangun, perempuan tidak perlu lagi meminta agar diberi hak istimewa (privilage) oleh sistem yang patriarkis untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu. Hal ini sesuai dengan kaidah kesetaraan gender, dimana kesetaraan sejatinya bukanlah sesuatu yang given atau dianugerahkan, melainkan harus diperjuangkan sendiri oleh kaum perempuan.


B. Latar Belakang Masalah
Telah menjadi kebiasaan dalam budaya kita, pendidikan anak perempuan seakan tidak boleh lebih tinggi ketimbang laki-laki. Perempuan tidak lebih sebagai pelengkap bagi laki-laki, yang secara sadar atau tidak telah mulai ditanamkan sejak mereka masih belia. Mulai cara memilih pakaian, mainan, cara berjalan, bahka cara mensikapi sesuatu. Hal-hal yang bersifat cengeng dan lemah seolah identik dengan perempuan. Sedangkan yang kuat, berani bahkan nakal pun menjadi lumrah bila yang melakukan laki-laki.
Pemikir yang memiliki sejumlah keahlian dan dianggap paling liberal, az-Zamakhsyari, menyatakan bahwa laki-laki memang lebih unggul ketimbang perempuan. Keunggulan itu meliputi akal, ketegasan, semangat, keperkasaan dan keberanian atau ketangkasan. Karenanya, kenabian, keulamaan, kepemimpinan besar yang bersifat publik dan jihad hanya diperuntukkan bagi laki-laki (az-Zamakhsyari, tt: 523).
Fahruddin ar-Razi juga mempercayai superioritas laki-laki atas perempuan dengan sejumlah alasan ilmu pengetahuan dan kemampuan. Menurutnya, akal dan pengetahuan laki-laki lebih banyak dan luas, dengan demikian mereka dapat melakukan kerja keras lebih prima dari pada perempuan. Ini merupakan sifat-sifat yang hakiki (Fahrudin ar-Razi, tt: 88).
Dengan berbagai alasan; dari etika, budaya, sosial, mitos, bahkan agama, bersambungan menggelayuti langkah anak perempuan untuk berkembang. Alih-alih ingin menunjukkan potensi diri, malah yang mereka dapat adalah cap sebagai perempuan yang tidak tahu unggah ungguh (tata kesopanan) oleh lingkungannya.
Maraknya diskursus tentang kesetaraan gender adalah sesuatu yang wajar, mengingat kini fakta-fakta terkait ketidaksetaraan gender masih jelas terpampang di depan mata. Diskriminasi, perlakuan tak adil, eksploitasi, pelecehan, penistaan, masih sering dialami perempuan di mana-mana. Kendati keadaannya sudah jauh lebih baik daripada era Kartini, akan tetapi berbagai kasus di atas setidaknya bisa dijadikan pranala bahwa perjuangan mencapai kesetaraan gender di Indonesia masih belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan.
Salah satu penyebabnya adalah karena masih adanya kekeliruan pemahaman, dimana kesetaraan gender dianggap sebagai pertarungan konfrontatif perempuan vis a vis laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai penakluk (conquerer) dan perempuan adalah pihak yang ditaklukkan (conquered), dimana perjuangan mencapai kesetaraan gender dipandang sebagai upaya pembalikan posisi di antara keduanya. Padahal inti dari kesetaraan gender bukan meneguhkan siapa yang mendominasi dan didominasi, melainkan menemukan koridor untuk saling berbagi secara adil dalam segala aktivitas kehidupan tanpa membedakan pelakunya laki-laki ataupun perempuan.
Sementara itu, perjuangan mencapai kesetaraan gender juga masih dilakukan secara parsial, sekadar upaya ‘melawan’ dominasi laki-laki atas perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan. Tingkat kesetaraan pada akhirnya cenderung diukur secara kuantitatif, dihitung dari jumlah representasi perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Tidak mengherankan jika pada masa lalu pernah ada kebijakan yang mengharuskan keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30 persen. Hal itu merupakan imbas dari pemikiran kuantitatif, yang menganggap capaian angka-angka lebih penting daripada kualitas perseorangan (Depkominfo, Blogs).
Banyak orang membicarakan kesetaraan gender, akan tetapi yang dikemukakan kemudian adalah data-data tentang berapa jumlah perempuan yang menjadi presiden, menteri, jenderal, dirjen, kepala, direktur, anggota legislatif, dan sebagainya. Pola pikir semacam ini tidak salah, namun juga tidak bisa dikatakan seratus persen benar, karena sejatinya esensi kesetaraan gender jauh lebih dalam dari sekadar kuantitas perempuan yang berhasil memasuki ‘ranah’ laki-laki.
Dari pemahaman tentang kesataraan gender yang benar, maka kita baru dapat memilah berbagai karya sastra yang benar-benar membicarakan keberadaan perempuan dengan benar pula. Sebab terlalu banyak karya sastra yang memperbincangkan perempuan, namun lebih banyak sebagai obyek penderita semata.
Tetapi tidak sedikit pula karya sastra, terutama novel, yang bercerita dengan menempatkan perempuan pada 'tempatnya' atau sedang memperjuangkan agar benar-benar sesuai dengan keadilan gender. Misalnya; "Perempuan di Titik Nol" karya Nawal el-Sadawi, "Istri" karya Bharati Mukherjee, "Perempuan Berkalung Sorban" karya Ebidah el-Khaliqie, dan "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur" karya Muhidin M. Dahlan, serta banyak lagi.
Ketertarikan pada novel yang terakhir tersebut, lebih dikarenakan novel ini --menurut pengakuan penulisnya-- berdasarkan memoar seorang aktifis muslimah yang memegang teguh pada ajaran agamanya, berubah menjadi pemberontakan terhadap fakta banyaknya manusia beragama yang justru berperilaku tidak sesuai dengan ajaran yang ia pahami selama ini.
Terlalu banyak perlakuan yang merendahkan martabat keperempuanannya, sehingga ia memutuskan untuk membiarkan pelecehan itu sebagai senjata guna menundukkan kejumawaan laki-laki. Meskipun tampak absurd, pemberontakan ini menarik disikapi sebagai salah satu bentuk pemaparan akan adanya perempuan yang paham dengan eksistensi yang ada pada dirinya.
Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur" menjadi penting dikedepankan, sebagai bagian perjuangan kaum perempuan dalam menggapai kesetaraan yang telah lama ditelikung ketidakadilan gender di masyarakat. Dengan dalih budaya, agama, atau apapun, perempuan dinomorduakan dibanding laki-laki.
Dengan melihat hal-hal tersebut, maka penulis memilih judul; Pemberontakan Perempuan dalam Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut; mengapa perempuan harus memberontak? Dan bagaimana pemberontakan itu harus dilakukan?

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mendiskripsikan sebab-sebab dan cara pemberontakan perempuan yang sesuai dengan perjuangan kesetaraan gender, dengan mengaca muatan dari Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sebab-sebab ketidakadilan terhadap perempuan, sehingga menimbulkan gerakan pemberontakan dari perempuan.
2. Mengetahui cara melakukan pemberontakan yang sesuai dengan perjuangan kesetaraan gender agar tidak malah menjerumuskan perempuan itu sendiri.

F. Definisi Istilah
Supaya tidak menimbulkan kesalahan tafsir terhadap pengertian judul, berikut ditegaskan beberapa istilah sebagai berikut:
1. Pemberontakan
Pemberontakan adalah pengingkaran akan kebiasaan yang sudah diakui kebenarannya oleh masyarakat umum baik dalam tradisi, tatanan agama dan pemerintahan (Yusuf Qardhawi, 1997: 243). Pemberontakan lahir dari kesaksian atas sesuatu yang tidak rasional, dan dihadapkan pada sesuatu yang tidak adil serta kondisi yang tidak dapat dipahami (Albert Camus, 1988: 40)
2. Perempuan
Di kalangan para aktivis, kata "perempuan" dianggap lebih "politically correct" dibandingkan dengan "wanita", karena kata "perempuan" berasal dari kata "empu". Sementara kata "wanita" yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "orang yang berhias wajah" (Wikipedia bahasa Indonesia).
3. Novel
Menurut Sudjiman (1992: 53) novel merupakan prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh-tokoh dalam menampilkan serangkaian peristiwa serta latar belakang secara tersusun. Sedangkan menurut Suhariyanto (1982: 42) novel dapat mengungkapkan seluruh episode perjalanan cerita.

G. Kajian Pustaka
Supremasi laki-laki atas perempuan juga dinyatakan Ibnu Katsir. Katanya, laki-laki sudah seharusnya memimpin perempuan, dialah pimpinannya, hakimnya, dan pendidiknya, karena secara inhern laki-laki memang lebih utama dan lebih baik. Oleh karena itu, kenabian dan kekuasaan tertinggi selalu dan hanya diberikan kepada laki-laki (Imaduddin Isma’il bin Katsir, tt.: 491).
Dengan beberapa bukti literal, agama, berperan penting dalam mempengaruhi sikap masyarakat dalam memperlakukan perempuan. Sebab dengan alasan agama, masyarakat masih menganggap bahwa perempuan adalah mahluk yang tidak boleh membaca al-Qur’an dan masuk masjid jika sedang haid, harus menikah muda agar tidak dianggap perawan tua sehingga orang tua boleh memaksa (wali mujbir) untuk menikah, dan begitu sudah menjadi istri anggapan sebagai mahluk yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan seks suami, masih tetap menempel dalam hidup keseharian perempuan.
Memang memahamkan persoalan-persoalan gender berikut implikasinya kepada masyarakat benar-benar mengalami kesulitan luar biasa, terutama bila berhadapan dengan pikiran-pikiran keagamaan. Lebih-lebih jika pikiran-pikiran tersebut disampaikan oleh orang-orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pemilik otoritas kebenaran. Terlebih lagi jika pemegang otoritas tersebut menyampaikannya secara berjamaah. Dan yang terparah jika pikiran-pikiran tersebut telah menjadi keyakinan keagamaan yang diyakini sebagai agama itu sendiri.
Padahal pada kitab yang lain, ar-Razi ketika berbicara tentang apakah penyimpulan berdasarkan teks-teks otoritatif mengharuskan kepastian atau kebenaran satu-satunya yang tidak dapat ditolak. Dengan tegas dan bijak menjawab sendiri pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa kepastian atau keyakinan akan suatu hal hanya dapat terjadi jika telah disertai dengan bukti-bukti empirik (Fahruddin ar-Razi, tt.: 172-178).
Oleh karena itu fakta-fakta empirik yang ada di seputar perempuan perlu disederhanakan dengan dilengkapi teks agama, seperti teks al-Qur’an, Hadits atau fiqh yang relevan dengan hak reproduksi anak perempuan, agar mudah difahami oleh umat. Belajar bahwa Islam pada dasarnya menekankan pada keadilan dan kesetaraan. Laki-laki dan perempuan termasuk dalam kehidupan berumah tangga dan pemenuhan kebutuhan seksual pasangan. Hal ini acap menjadi persoalan yang peka dan sulit disajikan, karena tidak banyak diketahui umat.
Persoalan pelik ini oleh Muhidin M. Dahlan dikemas dalam sebuah karya fiksi, sehingga pembaca lebih mudah mencerna ide yang dipaparkan. Penceritaan yang lancar dan dramatis membuat pembaca tanpa sadar ikut 'menelan' ide yang diungkapkan.
Menurut Nurgiyantoro (1998; 3), fiksi merupakan sebuah cerita yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, dengan diri sendiri serta dengan Tuhan.
Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial seharusnya melakukan pola perilaku beragam di lingkungan sekitar, sehingga akan dapat mengetahui perilaku atau sikap apa saja yang dapat membawa seseorang ke dalam suatu hal yang positif atau suatu tindakan yang negatif.
Dalam menganalisis teks sastra haruslah digunakan teori-teori sastra. Sastra adalah sebuah gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1978: 1). Gambaran kehidupan sosial yang dialami perempuan dalam novel "Tuhan, Izinkan aku Menjadi Pelacur" merupakan sebagian kecil dari kenyataan sosial dalam kehidupan. Untuk itu menarik untuk dianalisis dengan menggunakan teori sosiologi sastra dengan pendekatan mimetik.
Sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari sastra dalam hubungannya dengan kenyataan sosial, di dalam penafsiran teks sastra secara sosiologis menurut Hartoko adalah menganalisis gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam teks sastra, sejauh mana gambaran itu serasi atau menyimpang dari kenyataan (Redyanto Noor, 2007: 90). Sedangkan pendekatan mimetik digunakan, karena pendekatan ini memandang bahwa karya sastra sebagai tiruan dan pembayangan dunia kehidupan yang nyata (Redyanto Noor, 2007: 34).
Muhidin M. Dahlan lahir pada pertengahan 1978 di Sulawesi Tengah. Pertama kali mengenal gerakan Islam ketika bergabung secara intensif dalam pelajar islam.
Pernah belajar di Universitas Negeri Yogyakarta dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keduanya tidak selesai. Lari atau tepatnya melarikan diri dan terjerembab ke dalam dunia asing-senyap (membaca dan menulis), dan ia menjadikannya profesi menulis untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Bukunya yang sudah terbit ialah: Jalan Menuju Hikmah (2001), Spiritualitas Sosial Shalat Malam (naskah hilang pada tahun 2001 disalah satu penerbit), Mencari Cinta (2003), Cinta sang Kekasih (2003), Terbang Bersama Cinta (2003), Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (2003), Tanah Air Bahasa; Seratus Jejak Pers Indonesia (2003), Jalan Sunyi Seorang Penulis (2002), Amnesti Antologi Cerpen 12 Novelis dan 2 Begawan Sastra Lainnya (2002) dan novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur! Memoar Luka Seorang Muslimah (2003), serta Novel Adam Hawa (2005).
Selain menjadi editor di beberapa penerbit dan menulis esai sastra, artikel budaya, dan ulasan buku dibeberapa Koran (nasional), ia kini tengah berjibaku mempersiapkan 3 bukunya yang berikutnya: Cinta di Bukit Kemukus, Cinta Ajaib La Galigo, Sang Kala (Roman Sejarah ).
Alasan pemilihan subjek ialah sikap yang diambil perempuan dalam menunjukkan eksistensinya dari suatu keadaan atas kekerasan yang dialaminya, kadang ekstrim dan tidak masuk akal, hal ini yang menarik untuk diteliti dengan analisis sosial.
Jelas bahwa ketidaktahuan (baca: kebodohan) merupakan biang-keladi terjadinya ketidaksetaraan gender serta kenisbian cara pemberontakan atas ketidakadilan ini. Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan bagi kaum perempuan untuk memperluas cakrawala berpikir serta memahami posisi mereka di tengah masyarakat. Seiring dengan peningkatan kapasitas intelektual dan kesadaran posisi perempuan, kemampuan meretas jalan untuk keluar dari subordinasi secara otomatis akan muncul. Di sisi lain, pendidikan juga akan menjadi kunci pembuka pintu gerbang korporasi, dimana dengan tingkat pendidikan yang tinggi perempuan bisa menempatkan dirinya untuk bersaing secara sehat dengan laki-laki di segala lini.
Dalam Islam, pembahasan Alquran tentang perempuan di dunia kebanyakan terpusat pada hubungannya dengan kelompok, yakni dari sistem sosial. Namun, harus juga dipahami bagaimana alquran berfokus pada perempuan sebagai individu, alquran memperlakukan individu, laki-laki maupun perempuan dengan cara betul-betul sama. Berkenaan dengan spiritualitas, hak perempuan tidak berbeda dengan laki-laki. Pada perkembangan saat ini tidak ada perpedaan antara laki-laki dan perempuan berkenaan dengan kemampuan individual. Mengenai aspirasi pribadi, mereka juga sama ( Amina Wadud, 2006:65 ).

H. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan mimetik.
1. Metode Kualitatif.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti merasa "tidak tahu mengenai apa yang tidak ia ketahuinya''. Sehingga disain penelitian yang dikembangkan selalu merupakan kemungkinan yang terbuka akan berbagai perubahan yang diperlukan dan lentur terhadap kondisi yang ada di lapangan pengamatannya (Maman Rachman, 1993:107). Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Meleong, 1990:3 )

2. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik digunakan, karena pendekatan ini memandang bahwa karya sastra sebagai tiruan dan pembayangan dunia kehidupan yang nyata (Redyanto Noor, 2007: 34). Sehingga pendekatan inilah yang paling tepat digunakan untuk mengupas novel yang oleh pengarangnya diakui sebagai memoar ini.

I. Sistematika Penulisan
Penelitian yang berjudul Pemberontakan Perempuan dalam Novel "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur!" Karya Muhidin M. Dahlan ini, terdiri atas empat bab dengan sistematika sebagai berikut..
Bab I Pendahuluan, menguraikan latar belakang, permasalahan, tujuan, manfaat penelitian, metode penelitian, landasan teori dan sistematika penulisan.
Bab II menguraikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sebab-sebab pemberontakan perempuan dan langkah-langkah menuju kesetaraan gender dalam masyarakat.
Bab III berisi uraian pemikiran para ahli tentang sebab-sebab pemberontakan perempuan dan langkah-langkah menuju kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.
Bab IV merupakan akhir dari skripsi. Isinya kesimpulan akhir dari materi yang dibahas.


Lampiran:
SINOPSIS

Ia seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk salat, membaca al-Qur'an, dan berzikir. Ia memilih hidup yang sufistik yang demi ghirah kezuhudannya kerap ia hanya mengonsumsi roti ala kadarnya di sebuah pesantren mahasiswa. Cita-citanya hanya satu: untuk menjadi muslimah yang beragama secara kaffah.
Tapi di tengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang ia idealkan bisa mengantarkannya ber-Islam secara kaffah, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang ia ajukan dijawab dengan dogma tertutup. Berkali-kali digugatnya kondisi itu, tapi hanya kehampaan yang hadir. Bahkan Tuhan yang selama ini ia agung-agungkan seperti "lari dari tanggung jawab" dan "emoh" menjawab keluhannya.
Dalam keadaan kosong itulah ia terjerembab dalam dunia hitam. Ia lampiaskan rasa kecewanya dengan free sex dan mengonsumsi obat-obat terlarang. "Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan, 'kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!" katanya setiap kali usai bercinta yang ia lakukan tanpa ada secuil put raut sesal. Dari petualangan seksnya itu tersingkap topeng-topeng kemunafikan dari para aktivis yang meniduri dan ditidurinya –baik aktivis sayap kiri maupun sayap kanan (Islam)—yang selama ini lantang meneriakkan tegaknya moralitas. Bahkan terkuak pula sisi gelap seorang yang bersedia menjadi germonya dalam dunia remang pelacuran yang ternyata anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memerjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Qardhawi, Yusuf, DR. 1997. Fiqih Daulah dalam Perspektif al-Qur'an dan Sunnah. Terj. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Ar-Razi, Fahruddin. tt. al-Mahshul. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Ar-Razi, Fahrudin. tt. al-Tafsir al-Kabir. Juz X. Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud bin Umar. tt. al-Kasyaf al-Haqa’iq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil. juz I. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi.

Bin Katsir, Imaduddin Isma’il. tt. Tafsir al-Qur’an al-Azim. Juz I. Surabaya: Syirkat an-Nur Asiya.

Camus, Albert. 1988. Krisis Kebebasan. Terj. Edhi Martono. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Noor, Redyanto. 2007. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press.

Rahman, Maman, Drs, M.Sc.. 1993. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suhariyanto, S. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Bandung: Angkasa.

Wadud, Amina. 2006. Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Mahram bagi Perempuan

MAHRAM BAGI PEREMPUAN

“Sandungan” berikutnya bagi perempuan muslimah yang ingin bebas meniti karier di ruang publik adalah konsep mahram bagi perempuan. Yaitu keleluasaan perempuan yang ingin keluar rumah, harus selalu disertai oleh mahramnya. Bila tidak, maka perempuan tersebut akan menimbulkan fitnah dan dihukumi “haram” bila ia tetap memaksa mencari eksistensi di tempat yang jauh dari rumahnya.
Konsep mahram dalam fiqh, masih menjadi perdebatan dan membutuhkan dialog panjang. Sebagian fuqoha beranggapan bahwa mahram merupakan sesuatu yang paten dan tidak bisa dirubah lagi. Dengan kata lain bila perempuan melakukan perjalanan hingga mencapai batas diperbolehkannya shalat jama’ dan qashar, maka ia harus disertai mahram. Sementara di pihak lain, berpendapat bahwa persoalan mahram adalah berkaitan dengan keamanan masyarakat yang masih kesukuan dan nomaden, sehingga ketika keamanan sudah terjamin dan keadaan masyarakat sudah berperadaban, maka bagi perempuan yang akan melakukan perjalanan, mahram tidak lagi membutuhkan.
Tarik menarik dalam kajian fiqh ini, secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan. Pertama, dengan mengusung konsep ihtiyat. Mereka ingin mempertahankan konsep-konsep fiqh sebagai sesuatu yang paten dan baku yang tidak boleh diganggu gugat. Kelompok ini, mempertahankan apa adanya teks-teks fiqh, meskipun realitas masyarakat sudah berubah serta tidak menganggap penting lagi bunyi teks tersebut. Dualisme ini dilakukan karena adanya pandangan bahwa masyarakat sekarang telah masuk dalam kategori ‘mengambil jarak dengan syari’ah’, karena sudah terkontaminasi modernisasi. Argumentasi mereka selalu berpegangan bahwa sebaik-baik masa adalah masa Nabi, dan semakin mendekati zaman akhir semakin buruk pula prilaku masyarakatnya.
Golongan kedua, kelompok yang menghendaki adanya penafsiran ulang terhadap konsep-konsep fiqh yang selama ini hanya dipahami secara normatif dan legal-formalistik. Mereka menginginkan adanya interpretasi ulang terhadap teks-teks yang ada dengan mendasarkan diri pada tujuan pokok syari’ah. Golongan yang terakhir ini, kemudian menjadi mainstrem kuat bagi para fuqoha modern-kontemporer.

A. Memahami Konsep Mahram
Mahram adalah suami atau saudara sedarah dari seseorang laki-laki atau perempuan yang secara hukum haram dinikah. Dalam pembahasan kita kali ini, lebih pada persoalan wajib atau tidaknya seorang perempuan didampingi seorang mahram jika melakukan perjalanan jauh, baik untuk ibadah maupun kebutuhan hajat duniawi yang diperbolehkan syariat.
Menurut mazhab Syafi’I, orang-orang yang dikategorikan sebagai mahram meliputi; suami, para saudara –baik berdasar nasab, persusuan atau musaharah--, atau beberapa perempuan yang dapat dipercaya. Penentuan adanya mahram ini, lebih berdasarkan hadits. Dalam sebuah hadits dikemukakan bahwa seorang perempuan yang ingin melakukan perjalanan harus disertai mahram;




“Dari Ibnu Abbas ra dia mendengar Rasulullah bersabda: “Janganlah sekali-kali kalian perempuan berada di tempat sunyi, kecuali perempuan itu bersama mahramnya, dan janganlah perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.” Maka berkatalah seorang laki-laki: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya istriku pergi haji, sedang saya harus ikut berperang?” Kata Rasul: “Pergilah berhaji bersama istrimu!”.” (HR. Muttafaqun alaih)

Persoalan mahram acap mengemuka ketika seorang perempuan ingin melakukan perjalanan jauh, yakni adakah perempuan itu disertai mahramnya atau tidak. Hal ini sering menjadi persoalan tersendiri, bahkan dapat menjadi faktor penghambat, jika seorang perempuan akan menunaikan haji.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Syatha yang menyatakan bahwa ketika perempuan melaksanakan ibadah haji, maka harus disertai suami, mahram atau beberapa perempuan yang terpercaya. Baginya, perlakuan tersebut dimaksudkan untuk menjaga perjalanan seorang perempuan yang sedang melakukan perjalanan sendirian meskipun dengan jarak yang relatif dekat.
Lebih lanjut Ibnu Syatha mengemukakan, terdapat beberapa hadits yang berbeda tentang batasan minimal berapa hari seorang perempuan yang bepergian harus disertai mahram. Namun ia beranggapan bahwa perbedaan hari yang ada pada beberapa hadits dimaksud, bukan merupakan batasan, karena syarat adanya mahram yang termuat dalam hadits riwayat Ibnu Abbas adalah bersifat mutlak. Artinya, mahram harus tetap ada dalam perjalanan apapun yang dilakukan oleh perempuan.
Bahkan menurut Imam Ahmad bin Hambal, sekalipun ada seorang perempuan kaya dan mampu membiayai dirinya sendiri untuk melakukan ibadah haji, selama ia tidak memiliki mahram yang menyertainya, maka ia tidak diwajibkan untuk berhaji. Hal ini pernah diungkapkan oleh Imam Abu Daud yang menceritakan bahwa ia pernah menanyakan persoalan tersebut kepada Imam Ahmad dan dijawab; perempuan tersebut tidak wajib haji, sebab mahram itu termasuk syarat perjalanan haji.
Sementara Mazhab Syafi’I juga mensyaratkan kepada perempuan yang akan menunaikan ibadah haji agar disertai suami atau mahramnya, atau beberapa perempuan lain yang dapat dipercaya. Tetapi sebagian lainnya mengatakan cukup ditemani satu perempuan yang dapat dipercaya. Pendapat yang sama juga dikemukakan Sayid Sabiq yang masih mensyaratkan mahram bagi perempuan yang berhaji.
Larangan bagi perempuan untuk melaksanakan ibadah haji tanpa disertai mahram, juga disampaikan ulama Malikiyah yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh melakukan perjalanan sehari semalam atau lebih kecuali disertai mahram atau teman yang terpercaya, baik laki-laki atau perempuan, baik sudah baligh atau masih anak-anak, baik muda ataupun sudah tua.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, keduanya menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan melakukan perjalanan, tanpa disertai mahram meskipun untuk beribadah haji. Hal senada diutarakan oleh Imam asy-Syuyuthi yang malah berpandangan bahwa mahram menjadi salah satu syarat dalam melaksanakan ibadah haji.
Akan tetapi, beberapa ulama lainnya beranggapan bahwa hitungan hari merupakan batas penting untuk mewajibkan perempuan yang bepergian harus disertai mahram. Pendapat ini terutama disampaikan oleh ulama Hanafiyah yang memberi batasan minimal tiga hari perempuan yang melakukan perjalanan wajib disertai mahram. Hanya saja, untuk perjalanan yang kurang dari tiga hari, jika perempuan tersebut merasa aman dari fitnah, kesertaan mahram menjadi tidak lagi wajib.
Malah lebih moderat lagi dinyatakan, perempuan diperbolehkan melakukan ibadah haji tanpa mahram, bila ia merasa aman dan bisa menjaga diri. Seperti diungkapkan Syakh Khamim Muhammad ‘Uwaidah, seorang perempuan diperbolehkan melakukan ibadah haji tanpa disertai suaminya, jika tidak dalam keadaan haid dan belum menikah, serta tidak mempunyai mahram.
Alasan keamanan ini seringkali muncul dalam berbagai pendapat mazhab fiqh. Salah satu ulama golongan Syafi’iyyah juga membolehkan perempuan melaksanakan ibadah haji sendirian, jika memang perjalanan itu aman, meskipun ia memiliki mahram.
Para ulama yang memperbolehkan perempuan melakukan perjalanan tanpa disertai mahram, biasanya berargumentasi karena istri Nabi SAW pernah diijinkan oleh Nabi melakukan ibadah haji tanpa mahram. Namun karena alasan untuk menjaga keamanan, para istri Nabi tersebut dikawal oleh Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf yang jelas bukan bagian dari mahram para istri Nabi.
Namun mayoritas ulama menyatakan bahwa dalam melaksanakan haji wajib, perempuan boleh ‘hanya’ disertai perempuan lain yang dapat dipercaya. Imam Syafi’I misalnya, berpendapat bahwa perempuan dapat melaksanakan ibadah haji bersama dengan perempuan merdeka yang dapat dipercaya. Sementara Imam Malik malah membolehkan perempuan melaksanakan ibadah haji bersama-sama dengan jamaah perempuan.
Jelasnya, perbedaan pendapat para ulama tersebut, makin menegaskan keikutsertaan mahram dalam aktivitas perempuan yang sedang melakukan perjalanan adalah semata untuk menjaga keamanan para perempuan. Bagaimana jika situasi dan kondisinya memang sudah aman?

B. Membumikan Teks
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya kita menengok lagi kondisi sosio-geografis ketika konsep mahram itu dikemukakan. Silakan periksa ulang sejarah Nabi, para sahabat, tabi’in, dan para ulama abad pertengahan yang kitab-kitabnya cukup berpengaruh sampai sekarang. Pada saat itu, mereka tinggal di suatu wilayah yang secara geografis gersang dan dikelilingi gurun sahara, dengan alat transportasi yang masih sangat sederhana. Secara sosiologis, pada saat itu hukum belum tertata dan menjamin perlindungan keamanan pada setiap warganya. Maka sangat wajar bila seorang perempuan sangat berbahaya melakukan perjalanan jauh sendirian. Tidak hanya bahaya dari ancaman ganasnya alam, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah gangguan dari sesama manusia.
Melihat situasi yang melingkupi masa itu, apalagi di tengah tatanan masyarakat yang belum beradab dan kekuasaan patriarkhi yang demikian kuat, maka kepergian perempuan seorang diri tentu sangat berbahaya. Karena itu sangat wajar bila konsep mahram diberlakukan di tengah kondisi sosio-geografis masyarakat yang demikian.
Namun untuk situasi yang sudah aman seperti sekarang ini, yang mana negara sudah dapat menjamin keamanan warganya, maka posisi mahram sebagai pengawal perempuan yang sedang melakukan perjalanan sudah dapat digantikan oleh aturan hukum dan aparat negara.
Terlebih dengan makin pesatnya perkembangan teknologi, alat transportasi sedemikian cepat dan lebih menjamin keamanan bagi setiap penumpangnya, semakin terjaminnya keamanan warga oleh negara, serta makin berdayanya perempuan dalam berbagai bidang, maka konsep mahram yang dianggap membelenggu perempuan modern tersebut perlu ditinjau kembali. Terutama bila kita telah sepakati, bahwa alasan terkuat yang dipakai para ulama tentang mahram ini adalah masalah keamanan semata.
Dalam aktivitas keseharian masyarakat kita, perempuan telah lumrah melakukan suatu perjalanan, baik jauh maupun dekat, tanpa disertai mahram, dan ternyata hal itu tidak membahayakan dirinya. Realitas ini telah membuktikan bahwa keamanan terhadap perempuan yang sedang melakukan perjalanan telah dijamin dan dilindungi oleh negara, serta didukung oleh tatanan sosial masyarakat yang selalu menghendaki keamanan dan ketentraman. Selanjutnya, persyaratan keikutsertaan mahram dalam perjalanan perempuan telah kehilangan relevansinya dan berdiri di awang-awang.
Dengan kata lain, teks-teks agama yang mengatur tentang konsep mahram perlu dipertanyakan lagi agar nantinya tidak muncul anggapan bahwa aturan-aturan agama sudah tidak lagi membumi. Sebab bila tidak, maka akan ditinggalkan oleh kereta zaman yang terus melaju dan putuslah hubungan agama dengan kehidupan umatnya. Sehingga agama menjadi terasing dari umatnya dan tidak akan lagi didengar suaranya dan tidak akan memiliki eksistensi.