Selasa, 20 Juli 2010

TAUHID & HUKUM

Tauhid dan Kepatuhan Hukum
Oleh: A. Choliq Mi'roj

Pendahuluan
Tauhid atau prinsip keesaan Tuhan, yang dalam Islam merupakan fondasi pokok untuk menegakkan tiang agama Islam, telah mewarnai bangunan spiritualitas atau kesadaran keberagamaan umat Islam. Kesadaran tauhid yang berarti peneguhan kebenaran bahwa tuhan adalah esa (satu) baik di dalam zat-Nya, nama-nama-Nya, siat-sifat-Nya, maupun perbuatan-perbuatan-Nya telah melahirkan konsekwensi logis di dalam pikiran, sikap dan tindakan seorang muslim.
Seorang Muslim, berarti menganggap Tuhan semata, sang pencipta normatif yang kehendak-Nya semata-mata sebagai perintah yang harus diikuti dan pola-pola-Nya adalah semata-mata sebagai kebutuhan etis penciptaan (al-Faruqi, 1982: 16) Anggapan yang menempatkan Tuhan sebagai sumber normatif yang kehendak dan pola-Nya diyakini sebagai perintah dan kebutuhan etis penciptaan, ini memiliki arti bahwa Tuhan di dalam kesadaran umat Islam benar-benar sebagai sumber kebenaran pengetahuan dan peradaban. Selanjutnya dari kesadaran tauhid inilah, para sarjana dan ilmuwan muslim mencoba membangun berbagai konsep realitas, sains, ilmu alam, ilmu sosial, dan juga peradaban serta kebudayaan Islam (Bakar, 1994: 15).
Dalam memahami ide tauhid, ada baiknya bila kita memahami apa-apa yang oleh al-Qur'an dianggap sebagai syirik atau kemusyrikan. Al-Qur'an mengemukakan dua ciri utama dari kemusyrikan, yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik atau sekutu, dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad atau saingan. Kedua ciri utama itu wujud dalam berbagai bentuk manifestasi.
Meskipun para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum tertinggi dan termulia, mereka juga menerima bahwa hukum pemerintah juga mempunyai nilai tersendiri, karena itu patut untuk ditaati jika diturunkan dari al-Quran. Menurut mereka, undang-undang dan semua hukum yang diturunkan dari syariat Islam adalah sah dan berharga. Dengan begitu, semua Muslim harus menjalankan dan melaksanakannya. Mereka menganggap kepatuhan terhadap hukum Islam sangat diperlukan dan menjadi suatu kewajiban agama. Sebagai contoh, mereka memperhatikan hukum-hukum itu dan meyakini bahwa dalam negara Islam setiap orang harus menghormati dan memelihara hukum-hukum Islam.
Para ulama berkeyakinan bahwa alasan untuk secara saksama menjaga hukum Islam didasarkan pada kenyataan bahwa hukum-hukum Islam berasal dari wahyu, al-Quran, dan hadis, yang diturunkan oleh Pencipta manusia; karenanya, Dia dan kalimat-Nya adalah (hukum) tertinggi dan berada pada peringkat (hukum) tertinggi. Dasar pemikiran ini diambil dari firman Allah dalam al-Quran, Kalimat Allah itu adalah kalimat yang tertinggi. Kalimat Allah adalah kalimat tertinggi dan terunggul. Ahli tafsir besar Thabarsi menginterpretasikan ayat, ‘Kalimat Allah’ dengan makna tauhid (monoteisme). Dalam ayat al-Quran mengenai kalimat tauhid—sebagai sumber dan dasar semua aturan-aturan Islam—terdapat penentangan terhadap kekufuran dan kemusyrikan (Thabarsi, 1368H).

Pembahasan
Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan bagian integral dari akidah. Akidah tentang Allah yang menciptakan alam semesta, mengaturnya, memeliharanya dan menjaganya sehingga segala makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing dengan baik dan melakukan fungsinya masing-masing dengan tertib. Hukum Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta) (QS. 3:190/191).
Melalui suatu pengamatan yang cermat atas segala alam sekitar kita, dapat disaksikan betapa teraturnya alam raya ini. Betapa teraturnya gerakan bintang-bintang pada garis edarnya masing-masing. Bumi tempat kita hidup yang berputar pada sumbunya dan beredar pada orbitnya di sekeliling matahari dalam jangka waktu tertentu dan pasti menyebabkan silih bergantinya siang dan malam dan bertukarnya satu musim ke musim lain secara teratur.
Lewat ilmu pengetahuan alam kita diperkenalkan dengan hukum-hukum fisika dan kimia serta biologi, seperti hukum proporsi, hukum konservasi, hukum gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum Pascal, kode genetik, hukum reproduksi dan embriologi. Penemuan hukum-hukum alam (natuurwet) sebagaimana disinggung di atas, memberikan informasi yang jelas pada kita betapa alam raya ini mulai dari bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam inti atom yang sukar dibayangkan kecilnya, sampai kepada galaksi-galaksi yang tak terbayangkan besar dan luasnya, semuanya bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang mengaturnya.
Jika kita amati yang lebih dekat kita renungkan, ialah keadaan tubuh jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan, tubuh manusia terdiri dari 50 juta sel, jumlah panjang jaringan pembuluh darahnya sampai 100 ribu kilometer dan lebih dari 500 macam proses kimiawi terjadi di dalam hati. Tubuh manusia jauh lebih rumit dan menakjubkan daripada pesawat komputer. Prestasi atletik seringkali memperlihatkan tenaga tubuh yang bersifat melar. Sedangkan ketangguhannya menunjukkan staminanya. Meskipun demikian fungsi-fungsi tubuh yang tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari, tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah kita, pencernaan dan tugas-tugas lain yang tidak terbilang banyaknya. Pusat pengatur tubuh, yakni otak memiliki kemampuan merekam dan menyimpan lebih banyak informasi dibandingkan dengan pesawat apapun (QS.25:2).
Dalam hubungan ini, dapat kita renungkan salah satu ayat al-Qur'an yang berbunyi, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar (QS. 41:53).
Pesan untuk mengamati, meneliti, memikirkan dan mempelajari alam semesta, sangatlah jelas dan berulang-ulang kali disampaikan dalam sekian banyaknya ayat-ayat al-Qur'an. Katakanlah! Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman (QS. 10:101).
... Dan apakah mereka tidak memperhatikan kekuasaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah ... (QS. 7: 185). ...Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang Engkau menciptakan langit dan bumi (seraya berkata) ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan neraka. Rasulullah saw. mengomentari ayat-ayat ini dengan sabdanya, Celakalah orang yang membaca ayat ini lalu tidak berfikir. (QS. 3:190/191).
Petunjuk-petunjuk al-Qur'an yang mengarahkan manusia untuk berfikir, menalar, mengamati dan meneliti sebagaimana disinggung di atas yang sifatnya global, dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk lain yang bersifat detail dimana terbayang isyarat-isyarat yang mengacu pada pokok-pokok ilmu pengetahuan tentang alam dan hukum-hukum yang berlaku atasnya. Misalnya ayat yang berbunyi, Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah (mansion) bagi peredarannya supaya kalian mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungannya. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menguraikan tanda-tanda (kekuasaannya) kepada orang-orang yang mengetahui (berilmu)"
...Dan matahari itu berjalan di tempatnya, itulah ketentuan dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah perjalanan sehingga (setelah ia sampai ke manzilah terakhir) kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mencapai bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing di dalam orbitnya pada beredar. (QS. 36:38/40).
Kedua ayat ini cukup jelas isyarat-isyaratnya yang dapat ditangkap ilmu astronomi. Demikian pula halnya dengan ilmu-ilmu lain yang dapat menangkap isyarat-isyarat berbagai ayat al-Qur'an yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, air, awan, kilat, dan tentang manusia sendiri dan kejadiannya serta segala macam permasalahannya. Upaya pengamatan, penelitian dan penalaran lewat ilmu-ilmu yang mempelajari perilaku dan sifat-sifat makhluk-makhluk, baik berupa benda mati maupun makhluk hidup, telah mengungkapkan banyak penemuan yang memperkenalkan kepada kita hukum-hukum yang berlaku dengan pasti atas alam ini.
Kehadiran ayat-ayat yang mengandung isyarat-isyarat yang mengacu pada pengungkapan misteri alam, mendorong minat dan membangkitkan semangat kaum Muslim angkatan-angkatan pertama --yang dapat menghayati ayat-ayat al-Qur'an ini-- untuk terjun menggali ilmu pengetahuan yang luas dan khazanah ilmiah bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Parsi, India dan Cina di bidang pengetahuan filsafat dan alam, sehingga menghasilkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi, al-Ghazali dan serentetan nama besar yang tidak asing bagi dunia ilmu pengetahuan di Timur dan di Barat.
Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum yang mengatur segala makhluk di alam raya ini, biasanya dalam bahasa ilmu-pengetahuan disebut natuurwet atau hukum alam, di dalam bahasa al-Qur'an kadangkala disebut sunnatullah. Salah satu ayatnya mengatakan, Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat pergantian bagi sunnatullah itu, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan dari sunnatullah itu.
Dalam terminologi teologis hal semacam itu termasuk dalam kategori qadar dan qadla, namun istilah ini lebih mendominasi hal-hal yang bersangkut paut dengan perilaku manusia, dan sering kali --secara kurang hati-hati-- dianggap identik dengan determinisme.
Ayat yang secara jelas merangkaikan sunnatullah itu dengan qadar, berbunyi ...(Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnatullah pada mereka yang telah berlaku dahulu, dan adalah ketetapan Allah itu suatu qadar yang pasti berlaku (QS. 33:38). Penjelasan lebih jauh tentang qadar itu dapat kita simak dari beberapa ayat, diantaranya, Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar. Kata bi qadar (dengan qadar) di sini ditafsirkan, menurut ukuran. Isyarat yang ada dibalik kalimat ini dapat ditangkap lebih jelas dengan bantuan ilmu fisika yang membahas tentang materi dan unsur.
Benda-benda yang ada disekeliling kita, yang merupakan bahan-bahan kebutuhan dalam hidup kita seperti kayu, besi, seng, perak, emas, hewan, tumbuh-tumbuhan, air dan sebagainya, semuanya itu termasuk dalam kategori materi. Sebahagian besar dari materi-materi yang kita kenal terdiri dari unsur-unsur.
Tergabungnya dua unsur atau lebih melalui pola persenyawaan atau pola percampuran membentuk suatu materi tertentu. Misalnya unsur oksigen bergabung dengan hidrogen membentuk senyawa cair, dan disebut air. Unsur-unsur yang tergabung dalam suatu senyawa selalu mempunyai proporsi tertentu. Air murni selalu mempunyai proporsi oksigen dan hidrogen yang sudah tertentu dan tetap, demikian pula dengan proporsi nitrogen dan hidrogen dalam amoniak. Dalam kasus-kasus seperti ini, unsur-unsur telah bergabung membentuk suatu senyawa, mengikuti suatu aturan yang dikenal hukum proporsi yang sudah tertentu.
Isyarat serupa yang kita peroleh dari informasi ilmu fisika sebagaimana disinggung di atas, dapat pula kita temui dari informasi ilmu kimia yang membahas unsur-unsur itu. Misalnya, unsur Al (aluminium), jumlah proton yang terkandung di dalamnya 13; unsur Cu (tembaga), jumlah protonnya 29; unsur Au (emas), jumlah protonnya 79; unsur Ag (perak), jumlah protonnya 47; unsur Pt (platina), jumlah protonnya 78; unsur Ni (nikel), jumlah protonnya 28; unsur Fe (besi), jumlah protonnya 26; unsur Hg (air raksa), jumlah protonnya 80; dan seterusnya. (QS. 54:49).
Secara sepintas dari dua informasi yang disajikan di atas, memperlihatkan kepada kita adanya kadar ukuran tertentu yang menjadi ketentuan-ketentuan yang pasti yang dapat diamati dalam diri setiap makhluk. Semuanya ini merupakan bagian dari hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta. Dalam hubungan ini dapat kita hayati ungkapan sebuah ayat yang berbunyi, ... Dan Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan Dia-lah yang menetapkan qadar/ukurannya secara pasti serapi-rapinya (QS. 25: 2)
Pembahasan teologis dalam bidang qada dan qadar (masalah takdir) kurang menyentuh apa yang kami singgung di atas. Padahal ayat-ayat yang berbicara tentang qudrat-iradat Allah/kekuasaan dan keagungan Allah, sebagian besar mengaitkan bermacam-macam fenomena alam yang dimintakan perhatian supaya manusia mengamatinya dan melakukan penalarannya untuk dapat membaca tulisan Ilahi yang tersirat di dalamnya. Juga untuk menemukan sunnatullah atau hukum-hukum kauniyah yang akan menopang tegaknya hukum-hukum syar'iyyah. Mungkin itulah yang disindir Imam Ghazali dengan ungkapannya:.".. mereka tidak mampu membaca tulisan Ilahi yang tergurat di atas lembaran-lembaran alam semesta; tulisan tanpa aksara dan bunyi itu pasti tidak dapat diraih dengan mata telanjang, tapi harus dengan mata hati (Ihya 'Ulum al-Din, al-Ghazali, LV/89).
Sunnatullah yang diperkenalkan al-Qur'an sebagaimana diuraikan di atas tidaklah terbatas pada ketentuan-ketentuan yang mengatur alam materi saja, tapi juga menjangkau alam nonmateri, bahkan dalam al-Qur'an, pemakaian kata sunnatullah lebih banyak mengacu pada apa yang disebut oleh ilmu pengetahuan sebagai "hukum sejarah." Ayat-ayat di dalam surah-surah al-Isra', al-Kahf, al-Ahzab, Fathir, Ghafir, al-Fath, Ali 'Imran, al-Nisa, al-Anfal, dan lain sebagainya, yang berbicara tentang sunnatullah dengan berbagai formulasi seperti sunnat alawwalin, sunnata man arsalna qablak, sunana al-ladzina min qablikum, semuanya berkaitan dengan peristiwa sejarah yang dialami para Nabi/Rasul dengan umatnya masing-masing, yang diminta al-Qur'an supaya diamati, direnungkan dan mengambil pelajaran daripadanya.
Dalam rangka itu al-Qur'an memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah zaman lampau seperti Fir'aun, Haman, Jalut, Tubba', al-Tsamud, Quraisy, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan tempat-tempat bersejarah seperti Badr, Uhud, Hunain, Thur, Hijr, Ahqaf, Saba', dan sebagainya. Dari sejarah itu tergambar bagaimana proses kebangkitan suatu umat dan bagaimana proses kehancurannya, apa faktor-faktor kemenangan dan apa faktor-faktor kegagalan dalam satu perjuangan. Bagaimana pertarungan antara pahlawan-pahlawan kebenaran dan akibat-akibat apa yang dialami para penentang kebenaran yang melakukan kezaliman, yang mengabaikan nilai-nilai moral, yang memeras golongan lemah, yang hidup bergelimang kemewahan, dan seterusnya. Sejarah mempunyai hukumnya sendiri dalam hal-hal tersebut di atas. Hukum yang berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia, merupakan sebagian dari sunnatullah, yang berlaku secara pasti, sebagaimana berlaku natuurwet (QS. 35:43).
Selain itu, aspek kesejarahan mempunyai juga arti penting dalam hukum-hukum syar'iyyah. Apa yang dikenal dalam ilmu hukum dengan historis-interpretasi cukup jelas padanannya dalam ilmu ushul fiqh yang lazim dipakai dalam mengolah hukum Islam, dengan adanya hukum nasikh-mansukh, asbab al-nuzul, asbab al-wurud dan status makkiyah atau madaniyah dari ayat-ayat, semuanya itu adalah untuk memperjelas proses terbentuknya suatu hukum dan latar belakang sejarah yang mendorong kehadiran hukum tersebut.
Sunnah Rasullullah saw yang menggambarkan perjuangannya selama dua dasawarsa lebih, yang banyak dicatat dalam al-Qur'an menerjemahkan dengan jelas sunnatullah yang berlaku dalam sejarah. Sukses besar berupa keberhasilan membangun dan membina suatu umat teladan, dan memenangkan suatu perjuangan besar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta mewujudkan kesejahteraan yang memberi arti bagi kemanusiaan, semua itu tidaklah lahir dalam sehari dengan kilatan lampu aladin, tapi merupakan hasil kerja keras yang lama dan berkesinambungan, yang didorong oleh rasa percaya diri dan semangat juang yang tinggi sebagai perwujudan iman dan taqwa.
Sunnah Rasulullah dalam perjuangan itu mendidik umatnya supaya memahami dan menghayati sunnatullah yang berlaku dalam sejarah. Dalam hubungan ini Syeikh Mahmud Syaltut mengomentari, ayat-ayat yang berbicara tentang perjuangan Rasulullah, mengungkapkan sesungguhnya Allah hanya memenangkan suatu perjuangan sesuai dengan ketentuan sunnahNya yang berlaku atas segenap mahluk-Nya. Siapa yang menolong/membela agama Allah dengan jalan menegakkan keadilan, memantapkan keamanan, menyebarkan ketentraman, tidak menjadikan kekuatan/kekuasaan itu sebagai alat menindas dan merusak, tapi hanya sebagai alat menciptakan kemakmuran dan untuk menegakkan hukum Allah dalam hal memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa dalam al-Qur'an banyak ayat memuat janji Allah untuk membantu memenangkan perjuangan orang-orang mukmin, tapi tidak mewujudkan janji itu dalam bentuk suatu keajaiban yang langsung turun dari langit, hanya karena mereka sudah mengaku beriman/percaya kepada Allah, atau karena sudah memeluk agama Allah, tapi dalam bentuk kesadaran keimanan yang menjadikan mereka menyadari kewajibannya dan melaksanakan perjuangan dengan gigih tanpa pamrih. Sikap yang demikian membuktikan bahwa mereka sudah memenuhi janjinya kepada Allah. Dan Allah pun mewujudkan janjinya pada mereka (Syaltut, tt : 272).
Ciri utama agama Islam, ialah ajarannya yang cukup praktis dan realistis menghadapi kenyataan sosial dengan langkah-langkah pemecahan yang praktis pula. Maka dengan adanya perjuangan antara kebenaran dengan kebatilan, yang menandai kehidupan sosial, maka keharusan memenuhi segala persyaratan-persyaratan itu adalah suatu hal yang mutlak. Sebab-sebab keberhasilan dan kemenangan dalam suatu perjuangan dapat dipelajari dari sejarah dan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya juga segala penyebab terjadinya suatu kegagalan atau kehancuran harus disadari dan dihindari.
Hukum sejarah sejalan dengan hukum alam. Keduanya mempunyai titik temu dalam hukum sebab-akibat. Pesan dan petunjuk yang diberikan al-Qur'an pada manusia, demikian pula sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan praktis pada pesan al-Qur'an itu, membimbing kita supaya menyadari keterkaitan segala sesuatu dengan penyebabnya, sebagai syarat bagi terjadinya.
Ada sebagian pendapat yang kurang memahami sunnatullah dalam bentuk hukum alam dan hukum sejarah, melihat adanya semacam kontradiksi antara hukum sebab-musabab (hukum kausal) dengan hukum teologis yang disebut tauhid, atau hukum moral yang disebut tawakkal. Dianggapnya hukum tauhid itu cenderung memberikan cap syirik (mempersekutukan Allah) jika seseorang menganggap ada penyebab (faktor penentu) selain Allah. Atau dianggapnya hukum tawakkal bertentangan dengan hukum sebab-musabab (kausal). Keraguan seperti itu sejak dini telah muncul, lalu diluruskan oleh sunnah Rasulullah dalam praktek sebagaimana tercermin dengan jelas dalam cara-cara perjuangan Rasul saw. yang menempuh segala persyaratan dan mengkaitkan segala sebab dengan musababnya, disamping menjelaskan hal itu dalam petunjuk lisannya pada mereka yang segan berobat di kala ia sakit, karena khawatir kalau-kalau upaya berobat untuk menghindarkan penyakit bertentangan dengan iman tauhidnya dan tidak menjadikan ia bertawakkal kepada Allah. Dalam hubungan itu Nabi saw. bersabda, Bertobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan menciptakan juga obat.
Dalam sabdanya yang lain, ketika Beliau ditanya tentang pengobatan, apakah itu bertentangan dengan qadar (taqdir)? Lalu Beliau menjawab, Itu (pengobatan) adalah sebahagian dari qadar Allah. Imam Ghazali menjelaskan, sebab-musabab itu adalah sunnatullah dan penyimpangan dari sunnatullah bukanlah persyaratan dalam tawakkal bahkan ada kalanya merupakan kebodohan yang dicela agama. Demikian ulasan al-Ghazali dalam Kitab Tawhid dan Tawakkal (al-Ghazali, LV/89).
Penjabaran yang merinci hukum-hukum al-Qur'an yang dilakukan fiqh memperlihatkan adanya empat bidang utama yang menjadi sasaran dari hukum itu, yakni bidang 'ibadat, bidang mu'amalat, bidang munakahat dan bidang jinayat. Hubungan manusia sebagai makhluk dengan Khaliqnya (Allah) diatur penataannya melalui hukum ibadat. Tata hubungan antara manusia dengan sesamanya dalam lalulintas pergaulan dan hubungan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, diatur dalam hukum mu'amalat. Tata hubungan manusia dalam kehidupan berkeluarga dalam suatu lingkungan rumah tangga, diatur melalui hukum munakahat, dan terakhir tata hubungan keselamatan, keamanan serta kesejahteraannya yang ditegakkan oleh pemegang kekuasaan umum atau badan peradilan, diatur melalui hukum jinayat.
Adanya hukum-ibadat dalam batang tubuh hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an itu merupakan ciri utama hukum Islam. Ibadat tidak lain adalah perwujudan dari akidah yang diimani. Di sinilah terlihat secara nyata keterkaitan hukum itu dengan akidah/keimanan. Hubungan antara makhluk (manusia) dengan Al-Khaliq, diatur secara pasti. Adanya hukum niat yang diberi peran menentukan nilai perilaku manusia, memperlihatkan dengan jelas peran moral dalam hukum itu. Di sini pula tampak titik awal perbedaan antara pemahaman hukum menurut ilmu hukum dengan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an. Menurut ilmu hukum, hukum itu hanya sekedar mengurus dan mengatur hubungan antar sesama manusia. Di luar itu tidak diperlukan hukum.
Selain itu, masih ada perbedaan asasi antara kedua jenis hukum itu. Menurut ilmu hukum, hukum itu terdiri dari suruhan/perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Apa yang dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidaklah tergolong hukum. Dengan demikian tidaklah mengherankan akibatnya dalam rangka pembinaan hukum, hanya diarahkan supaya tidak melanggar rambu-rambu hukum. Kepatuhan mentaati hukum menjadi kepatuhan yang semu dan bersifat lahiriah belaka. Sebaliknya hukum menurut ajaran al-Qur'an penegakkannya berjalan sekaligus dengan penabinaan moral dan akhlak yang bersumber dari akidah/keimanan. Karena itu penegakkan hukum menurut ilmu hukum selama tidak diawasi dan diketahui pejabat/aparat hokum selalu terjadi pelanggaran hukum. Pembinaan hukum di sini tidak diarahkan kepada pembinaan diri manusianya.
Dalam penegakkan hukum menurut ajaran al-Qur'an selalu ditekankan suatu pesan sebagai berikut, Wahai orang-orang yang berilmu! jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan keluarga kerabatmu; kaya maupun miskin, Allah jualah yang lebih tahu keadaannya (QS. 5:8). Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsumu, supaya kalian tidak menyimpang (dari kebenaran). Dan jika kalian memutarbalikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi. Maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kalian lakukan. (QS. 5:42) Itulah pesan al-Qur'an, bagaimana seyogyanya seorang berbuat adil. Tidak dituntut dari dan terhadap orang lain saja, yang pertama ialah dari dan terhadap dirinya sendiri.
Kemungkinan seorang pencari keadilan berlaku memperdaya hakim, atau adanya aparat hukum yang menyalahgunakan kedudukannya, secara dini al-Qur'an memperingatkan, Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil dan jangan pula mempergunakan harta itu sebagai umpan (guna menyuap) para hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui. (QS. 5: 42)
Dalam hubungan adanya kemungkinan seseorang berlaku memperdayakan hakim, sunnah Rasulullah memperjelas sebagai berikut, Sesungguhnya kalian mengajukan perkara-perkara kepadaku (untuk diputus). Mungkin sebahagian dari kalian lebih mampu dari yang lain (lawannya) mengemukakan alasan-alasan untuk memperkuat tuntutannya, lalu aku memutus perkara itu atas dasar apa yang saya dengar (dari alasan/keterangan) itu. Maka barang siapa menerima putusan perkara (yang ia sendiri tahu) bahwa itu hak saudaranya (lawannya dalam perkara) maka janganlah ia mengambil (hak) itu. Karena sesungguhnya ia hanya mengambil (menerima dariku) sepotong api neraka. (QS. 10: 15)
Dengan demikian maka jelaslah, al-Qur'an memperkenalkan satu konsepsi hukum yang bersifat integral. Di dalamnya terpadu antara sunnatullah dengan sunnah Rasulullah, sebagaimana terpadunya antara aqidah/keimanan dan moral/ahklak, dengan hukum dalam rumusan yang diajarkan al-Qur'an.
Dengan sifatnya yang demikian itu, maka hukum dari ajaran al-Qur'an itu mempunyai kekuatan sendiri yang tidak sepenuhnya tergantung pada adanya suatu kekuasaan sebagai kekuatan pemaksa dari luar hukum itu. Ide hukum yang diajarkan al-Qur'an berkembang terus dari kurun ke kurun, melalui jalur ilmu. Seandainya hukum yang diajarkan al-Qur'an itu tergantung pada suatu kekuasaan, maka sudah lama jenis hukum ini terkubur dalam perut sejarah atau sekurang-kurangnya menjadi barang pajangan di lemari-lemari museum. Karena kita semua cukup mengetahui betapa hebat upaya dari kekuasaan-kekuasaan yang mampu menaklukkan wilayah-wilayah Islam dan umatnya disertai upaya melikwidasi budaya dan hukumnya. Tapi ternyata hukum Islam dari ajaran al-Qur'an itu dapat memperlihatkan daya tahannya yang ampuh. Ia tetap bertahan bahkan berkembang dalam bentuk baru melalui proses taqnin (dirumuskan menjadi positif melalui yurisprudensi dan adakalanya melalui berbagai bentuk perundang-undangan).
Di lain pihak, perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, yang terjadi di negara-negara maju dapat pula mencari pandangan yang negatif terhadap Islam dan al-Qur'an, yang sangat mendominasi bangsa-bangsa Barat. Salah satu gejala dari perkembangan tersebut adalah minat para ilmuwan Barat untuk mempelajari Islam/Qur'an, sebagai ilmu. Dalam rangka itu para ahli hukum dari mereka, dari kongres ke kongres mulai terbuka pandangan terhadap Islam, yang tidak lain wujud nyatanya dan terinci adalah fiqh (hukum Islam) itu sendiri. Maka Fiqh ini dijadikan agenda tetap dalam pengkajian-pengkajian mereka di bidang hukum.
Sebagai contoh dapat kita lihat dari hasil Kongres Ahli-ahli Hukum Internasional yang berlangsung di London (2-7 Juli 1951) yang antara lain menetapkan, pokok-pokok hukum (undang-undang) yang terdapat dalam agama Islam merupakan undang-undang yang bernilai tinggi dan sulit dibantah kebenarannya. Disamping itu, adanya berbagai madrasah dan madzhab di dalamnya menunjukkan, perundang-undangan Islam kaya dengan berbagai teori hukum dan teknik hukum yang indah, sehingga perundang-undangan ini dapat memenuhi kebutuhan hidup modern (Jonathan Rutland, Human Body).
Salah satu kelebihan dari masyarakat Islam adalah perintah saling mengingatkan dalam mengamalkan hukum (amar makruf). Al-Quran menegaskan hal ini sebagai syarat utama bagi sebuah masyarakat Islam. Para ulama menganggap kehidupan dan kelanggengan masyarakat Islam tergantung dari perhatiannya terhadap amar makruf nahi mungkar. Karena itu, memberi peringatan kepada para pelanggar hukum (nahi mungkar) diturunkan dari pentingnya menerapkan amar makruf seperti yang telah disebutkan di atas. Al-Quran menjelaskan hal itu dalam ayat Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung (QS. 3:104). Dengan begitu, perbuatan menyeru pada kebaikan dan pentingnya menyampaikan kebajikan adalah perbuatan yang sesuai dengan akal, bahkan dalam beberapa kasus menjadi suatu kewajiban agama.
Para ulama senantiasa mengingatkan setiap orang dalam negara beragama untuk memperhatikan kewajiban-kewajibannya secara saksama hingga dengan begitu negara Islam mencapai tingkat pembangunan yang diinginkan. Dengan cara ini, kekacauan sosial, agitasi, dan benturan kepentingan antara tugas dan kezaliman dapat ditekan.
Dalam masalah ini, Ayatullah Musawi menegaskan bahwa, “Jika setiap anggota masyarakat berusaha untuk memikul tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya, negara ini akan menuju kesempurnaan negara Ilahi. Namun jika seseorang—mencari keuntungan sendiri—berusaha mencampuri pekerjaan atau jabatan orang lain, misalnya saat dia menjadi seorang hakim dia juga ingin bertindak selaku pejabat pemerintahan, maka hal ini akan menimbulkan agitasi dan kekacauan.”
Para ulama senantiasa menekankan pentingnya berpegang pada hukum dan ketinggian statusnya, karena itu mereka menganggap pelanggaran terhadap hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama. Mereka juga menegaskan bahwa dalam negara Islam semua hukum harus dihormati, dan setiap orang hendaknya menjaga agar tidak sampai melanggarnya, sekalipun berupa hukum lalu lintas, karena itu juga adalah hukum dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara satu hukum dengan hukum lainnya. Bahkan, mereka menegaskan bahwa Islam telah memerintahkan setiap individu, dan semua lapisan masyarakat harus berusaha untuk berpegang teguh pada tali Allah. Berpaling dari perintah ini adalah perbuatan yang tidak diperkenankan dalam agama.
Para ulama percaya bahwa mempertahankan negara Islam adalah terkait dengan penerapan hukum; karena itu mereka menganggap ketidakpatuhan pada hukum Islam sebagai sebuah perbuatan yang tidak bisa diterima dan tidak terpuji. Mereka bersandar pada ayat al-Quran, Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan... (QS. 4:135).
Almarhum Allamah Thabarsi memberi tafsiran ayat tersebut sebagai berikut, “Allah menginginkan kaum mukmin untuk menegakkan keadilan dan menjadikan sikap ini sebagai bagian dari karakter mereka baik dalam perkataan maupun perbuatan.” Selanjutnya, Ayatullah Musawi menekankan pentingnya mempertahankan Republik Islam dan menyatakan, “Mempertahankan negara Islam adalah salah satu kewajiban agama.” Tidak hanya itu, di kesempatan lain beliau menegaskan, “Tentu saja, segala sesuatu harus didasari dengan aturan dan disiplin… Menjaga disiplin adalah salah satu tugas kewajiban agama. Kedisiplinan ini harus diterapkan di kantor-kantor pengadilan negara; jangan sampai terjadi seorang hakim bekerja satu hari dan bolos kerja di hari lain… dalam suatu negara, segala sesuatunya harus dilandasi dengan disiplin.”
Para ulama meyakini bahwa al-Quran adalah kitab hukum terbaik, yang jika diterapkan akan menciptakan keunggulan kaum Muslim. Dan sebaliknya, perpecahan dan kekalahan disebabkan oleh kurangnya disiplin dan ketidakpatuhan pada hukum; seperti itu pula, pelanggaran hukum berasal dari kurangnya pendidikan moral masyarakat. Untuk itulah, penerapan hukum harus dipertahankan dan seharusnya dijadikan contoh seruan pada kebajikan (amar makruf). Untuk membuktikan pandangan yang telah dikemukakan di atas, sejumlah rujukan al-Quran yang berkaitan dengan ajaran tersebut, sejauh ini, telah disebutkan.
Salah satu hasil yang berharga dan membahagiakan dari kepatuhan pada hukum adalah terciptanya persatuan dan kesatuan. Kaum Muslim dalam beberapa kasus telah banyak mengalami kekalahan sepanjang sejarahnya. Para ulama meyakini bahwa disiplin dan budaya kepatuhan pada hukum akan membuka jalan pada kesatuan dan persatuan kaum Muslim. Tanpa disiplin, masyarakat (umat) tidak akan bisa memegang teguh ajaran tauhid dan tidak akan pernah bisa meraih tujuan-tujuannya. Mereka berkeyakinan bahwa tanpa disiplin, umat akan kehilangan karakter monoteistiknya. Sebuah masyarakat yang monoteistik (bertauhid) adalah masyarakat yang di dalamnya setiap orang memperhatikan kewajiban-kewajibannya masing-masing, mematuhi hukum, dengan satu batasan dan satu tujuan. Mereka menyadari bahwa ketaatan pada hukum adalah landasan bagi penerapan sikap egaliter, persatuan, dan kesatuan, sebuah pandangan yang Allah perintahkan pada semua kaum Muslim untuk dilaksanakan. Ayat al-Quran berikut menyatakan hal itu, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara (QS. 3:103).
Dalam rangka pembangunan hukum di negara kita Republik Indonesia, pembangunan dan pembinaan hukum nasional diarahkan kepada pembaharuan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat (UUD 1945, Penjelasan Umum). Sebagai kelanjutan dari pokok pikiran ini, sejak 1978 sampai dengan 1983 telah dilaksanakan pengkajian hukum yang meliputi antara lain Hukum Islam. Terakhir kita mendengar selesainya upaya kompilasi Hukum Islam yang dilakukan Mahkamah Agung bersama Departemen Agama. (UU No. 14 Tahun 1970).

Kesimpulan
Mengamalkan tauhid, berarti tunduk dan patuh pada hukum. Hukum yang diperkenalkan al-Qur'an hidup terus, sekali pun harus mengalami pasang surut dan pasang naik dan penerapannya, karena memang demikianlah hukum sejarah dalam sunnatullah sendiri. Namun harus diakui, perkembangan segi-seginya tidaklah seimbang. Seginya yang menyangkut hukum sosial kemasyarakatan (ahkam syar'iyah 'amaliyah/fiqh) lebih banyak mendominasi perkembangan itu. Dan seginya yang menyangkut sunatullah berupa hukum alam dan sejarah, kurang mendapat perhatian dalam pengembangannya. Tetapi bagaimana pun juga, perkembangan segi fiqhnya yang merumuskan hukum sosial kemasyarakatan itu, sangat berjasa dalam menumbuhkan kesadaran hukum dan sikap normatif dalam kehidupan umat Islam.
Selain itu, wawasan hukum yang diperkenalkan al-Qur'an, penerapannya ternyata juga kurang terpadu antara hukum-hukumnya yang menyangkut segi sosial kemasyarakatan, dengan hukum-hukumnya yang menyangkut sunnatullah yang berupa hukum alam dan hukum sejarah. Dua hal yang disinggung terakhir ini, yakni keseimbangan dan keterpaduan dalam hal pemahaman, pelaksanaan dan pengembangan wawasan hukum yang diperkenalkan al-Qur'an itu merupakan tantangan bagi para ulama dan para cendekiawan Muslim.


REFERENSI

Al-Faruqi, Ismail Raji. Tawhid its Implication for Thought and Life. 1982. Kuala Lumpur: Polygraphi Sdn.
Al-Ghazali. Ihya 'Ulum al-Din, tt. Beirut: Darul Fikr.
Al-Quran al-Karim
Bakar, Oesman. Tauhid dan Sains. 1994. Terj. Yuliani Lipato. Bandung: Hidayah.
Budhy Munawar-Rachman (Ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. tt. Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina
http://www-id.icc-jakarta.com/artikel/tafsir-hadis/915-peran-hukum-dalam-mengatur-kepentingan-manusia.html
Ilmu Pengetahuan Populer, Grolier Internasional Inc. IV/146.
Jonathan Rutland, Human Body.
Mughniyyah, M.J., At-Tafsir al-Mubin,
Musawi, Ruhullah, Sahife_ye Nur: Majmu’e_ye rahnemuzha_ye Imam Khomeini, Tehran, Markaz_e Madarek_e Enqelab_e Eslami, 1364 H.S
Musawi, Ruhullah, Tebyan, jilid 13, Institute for Editing and Dissemination of Imam Khomeini’s Works, 1372 H.S
Musawi, Ruhullah,Wilayat al-Faqih, Tehran:Sayyid Jamal
Syaltut, Syeikh Mahmud. Min Taujuhat al-Islam. tt. Beirut: Darul Fikr.
Tafsir Ibn' Katsir, I/440.
Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Beirut, Dar al-Ma’rifah, 1368 H
Thabathabai, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Beirut, Muassasah al-A`lami, 1393 H
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
UUD 1945, Penjelasan Umum.

Senin, 22 Maret 2010

Tasawuf

TASAWUF (Sebuah Pengantar)
Oleh: Abdul Choliq Mi'roj

Pendahuluan
Ketika ada seorang mahasiswi ditanya oleh Annemarie Shimmel, apa agamanya, mahasiswi itu menjawab, “Agama saya sufi.” Lebih lanjut Schimmel bertanya, “Apa yang kamu tahu tentang sufi?” “Saya sudah membaca Rumi dan melakukan tariannya,” ujar mahasiwi itu seraya menjelaskan bahwa dia sudah membaca buku-buku Jalaluddin Rumi melalui terjemahan Inggrisnya. Tatkala Schimmel menanyakan apakah dia tahu tentang Islam, jawabannya, “No!” Begitu pula ketika disinggung tentang Nabi Muhammad, mahasiswa itu Cuma melongo.(Burhani, 2002: 122)
Fenomena seperti ini, menurut Schimmel banyak terjadi di masyarakat Barat. Mereka mengenal tasawuf lengkap dengan berbagai teori dari nama para sufi, namun mereka tidak kenal Islam. Bagi Schimmel, problem ini mesti diselesaikan. Karena menurutnya, sufisme itu tidak bisa lepas dari Islam.(Burhani, 2002: 120)
Di Indonesia, ada beberapa guru spiritual yang mengajarkan tasawuf dan mistik Islam, namun mereka juga mengajarkan spiritualitas dari China, India dan Kejawen. Mengkaji tasawuf Islam dari mereka, layaknya belajar Islam di negara Barat dan para pakar Islam yang tak beragama Islam. Mengenai ini, Rasulullah pernah memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu di negeri China dan mengambil hikmah meski keluar dari mulut anjing.
Persoalannya, bagaimana jadinya jika terjadi pemisahan tasawuf dari aspek Islam lain seperti syari’at dan akhlak. Yakni hanya mengambil aspek instan dari Islam dan melupakan bangunan utuhnya?
Sebab sangat keliru apabila kita membayangkan bahwa seorang sufi dapat mereguk sufisme, yakni pencerahan dan ketenangan hati serta pengetahuan kepada Allah, tanpa berupaya memelihara “kulit kerang” luar yang bersifat melindungi, yang berbasis pada ketaatan kepada ketentuan-ketentuan hukum lahiriyah. Lelaku luar (bersifat lahiriyah) yang tepat adalah dengan menempuh ‘penghambaan’ (ibadah) ataupun aktivitas-aktivitas ritual lain yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW agar mencapai situasi hati yang waspada penuh. Dengan demikian, seseorang dapat mengalami kemajuan dalam jenjang penjernihan hati, dari yang lebih rendah menuju aspirasi yang lebih tinggi, dari kesadaran kebersahajaan dan rendah hati. Hasil kerja ruhaniyah semacam ini harus dilanjutkan pada dipeliharanya tataran situasi diri sebelah luar. (Haeri, 2000: 5-6)
Al-Kindi (abad 10) menunjuk munculnya komunitas kecil yang menyeru kepada kebaikan dan secara lantang menentang setiap kejahatan, di Alexandria, Mesir pada abad kesembilan Masehi. Menurutnya kelompok masyarakat di atas disebut dengan sufi. Sedangkan Muruj adz-Dzahab al-Ma’udi mengatakan bahwa sufi pertama kali muncul pada abad 9 masehi, sekitar 200 tahun setelah Rasulullah wafat. Pertanyaannya kemudian, mengapa diperlukan waktu yang demikian lama bagi masyarakat untuk menjadikan ‘pengetahuan sebelah dalam’ sebagai titik perhatian yang serius? (Haeri, 2000: 7)
Pengetahuan itulah yang disebut tasawuf. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.

Pengertian Tasawuf
Istilah tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun khulafaur rasyidin, karena mereka lebih senang dan merasa lebih berharga dengan panggilan sahabat. Generasi berikutnya disebut dengan tabi’in dan seterusnya disebut dengan tabi’it tabi’in.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad II hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli lain yang lebih dahulu dalam zuhhud, wara, tawakkal, dan mahabbah, tetapi dialah yang pertama diberi nama al-sufi.(Amin Syukur, 1999: 7)
Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang akar kata tasawuf. Para ahli banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Definsi tentang tasawuf memang sangat banyak, bahkan Ahmad Zaruq mengatakan bahwa kata tasawuf telah didefinisikan dan ditafsirkan dari berbagai aspek, sehingga mencapai sekitar dua ribu definisi. Semua itu disebabkan karena ketulusan untuk menghadapkan diri kepada Allah, yang dapat dicapai dengan berbagai cara.(Al-Fasi, 1318 H) Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar (shuf) untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mushawwif, perilakunya disebut tasawuf. (Amin Syukur, 1999: 8)
Namun penulis lebih sepakat dengan pendapat Syaikh Abdul Qadir Isa, bahwa kata tasawuf tidak perlu didefinisikan secara etimologis, karena kata tasawuf sudah terlanjur populer. Lebih baik kita lebih memfokuskan perhatian pada substansi dan esensi dari tasawuf itu sendiri. Yang dimaksud dengan tasawuf adalah usaha untuk membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan mencapai maqami ihsan. Inilah yang disebut dengan tasawuf.(Isa, 2010: 8)

Asal Usul Tasawuf
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.( Harun Nasution, 2009)
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan:

وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون

Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh S. al-Baqarah 115 berikut:

ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله إن الله واسع عليم

Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.

JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.
Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang.
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bias menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surge dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

PENGALAMAN SUFI
Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.
Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu."
Pengalaman berikutnya adalah ma'rifah, seperti ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al Bustami (w. 874 M). Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.(Harun Nasution, 2009)
Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
Tuhan, yang telah mencipta diri sendiri, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.

Kesimpulan
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.
Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir. (Harun Nasution, 2009)
Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.
Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialism yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.
Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam.
Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti sekarang.

Sabtu, 30 Januari 2010

Filsafat Etika

ETIKA TELEOLOGI (EUDEMONISME) ARISTOTELES:
KEMBALI KE KEBAJIKAN MORAL
Oleh: Abdul Choliq Mi'roj

Hanya seseorang yang memiliki karakter yang terbentuk dengan baik dapat memperoleh manfaat dari studi abstrak etika, karena hanya orang semacam itu dapat berlaku universal dengan benar mempertimbangkan kasus-kasus tertentu, untuk melakukan hal ini diperlukan intuisi.
(Aristoteles)


A. PENDAHULUAN

Sejak era Aristoteles filsafat dibagi ke dalam filsafat teoritis dan filsafat praktis. Yang teoritis merefleksikan realitas yang ada, yang praktis bertanya bagaimana kita harus bertindak.
Etika, termasuk filsafat praktis. Etika tidak hanya bertanya bagaimana manusia bertindak, melainkan bagaimana ia seharusnya bertindak. Bukan seakan-akan etika dapat langsung menentukan bagaimana kita harus bertindak secara kongkrit, akan tetapi, etika menawarkan pertimbangan-pertimbangan yang hendaknya kita pergunakan untuk menentukan sendiri keputusan dan tindakan yang tepat.
Teori yang ditawarkan Aristoteles rupanya ingin menjawab pertanyaan yang umum ditanyakan setiap manusia; apa yang membuat hidup itu baik, apa yang membuat hidup itu layak kita jalani, apa yang harus kita lakukan supaya kita bukan hanya hidup, tetapi hidup yang baik?
Hidup yang baik, kata Aristoteles, adalah hidup yang bahagia. Jadi baik itu bahagia. Tetapi ada banyak baik di dunia ini; good birth, good healt, good look, good luck, good reputation, good friends, good money, and goodness. Apa hubungannya “baik-baik” yang banyak itu dengan bahagia? Menurut Aristoteles, hidup yang bahagia adalah hidup yang sempurna karena memiliki semua hal yang baik seperti keturunan, kesehatan, ketampanan, peruntungan, reputasi, persahabatan, kekayaan, dan lain-lain. Hal-hal yang baik itu adalah komponen kebahagiaan. Semuanya kita cari untuk mencari kebahagiaan.
Ini berarti bahwa kebahagiaan adalah keinginan kita terakhir. Kebaikan lainnya kita kejar demi meraih kebahagiaan. Kebahagiaan kita raih tidak untuk tujuan lainnya. Kebaikan adalah summum bonum, kebaikan tertinggi. Demikian pernyataan Aristoteles yang paling terkenal dan selalu menjadi perbincangan para filosof tentang kebahagiaan dalam hidup. Kebahagiaan diinginkan untuknya sendiri, tidak untuk lainya. Tetapi kehormatan, kesenangan, pemikiran dan setiap kebaikan, kita pilih untuk meraih kebahagiaan, dengan mengambil keputusan bahwa melalui kebaikan-kebaikan itulah kita akan bahagia. Pada sisi yang lain, orang memilih kebahagiaan tidak untuk kebaikan lainnya. Jadi kebahagiaan adalah sesuatu yang final dan mencukupi sendiri.
Aristoteles pernah menyatakan, bahwa tidak ada orang yang berwajah buruk dan dari keturunan yang buruk hidup bahagia. Sebab ia menyebutkan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan yang berlangsung lama adalah good birth, good healt, good look, good luck, good reputation, good friends, good money, and goodness. Karena itu, Aritoteles mengutip ucapan Simonid kepada istrinya, ketika ditanya mana yang lebih baik menjadi orang bijak (seperti filsuf) atau orang kaya. “Orang kaya, karena kita melihat orang bijak menghabiskan waktunya di depan pintu orang kaya.”


B. PEMBAHASAN

a. Sekilas tentang Aristoteles
Sebelum memperbincangkan pemikiran-pemikiran Aristoteles, khususnya di bidang Etika, akan lebih mudah jika kenali dahulu sejarah hidupnya;
Aristoteles lahir di Stagira, Macedonia, Timur Laut Thrace pada tahun 384 SM. Ayahnya adalah seorang ahli fisika yang ternama, yang mengabdi kepada Amyntas II, penguasa Macedonia. Kedua orang tuanya meninggal ketika Aristoteles masih berusia muda, sehingga tanggung jawab pendidikannya dialihkan kepada keluarganya. Ketika berusia 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk berguru kepada Plato. Ia belajar di Akademia Plato selama 20 tahun, sampai Plato meninggal.
Setelah Plato meninggal, Aristoteles mengembara bersama Xenokrates. Keduanya menuju Asia Minor dan tinggal di kota Atarneus yang dikuasai murid Plato, Hermeias, selama 3 tahun. Hanya sayangnya, kota tersebut diserang oleh tentara Persia. Hermeias pun ditangkap dan dibawa ke Persia, lalu dibunuh di sana. Aristoteles dan rekannya berhasil menyelamatkan diri. Pada saat di pengasingan, ia mendapat undangan dari raja Macedonia, Philipos, untuk mengajar anaknya Alexander yang baru berusia 13 tahun. Alexander inilah yang dikemudian hari menjadi raja Macedonia dan penguasa yang berhasil merebut kembali Persia. Pada tahun 335 SM, Aristoteles kembali ke Athena. Kemudian pada tahun 531 SM, ia mendirikan pusat pendidikan Akademia di Lyceum, dekat dengan puri Dewa Lyceus, yang disebut Peripatos.
Sebutan Peripatos ini disebabkan dari cara mengajar Aristoteles yang mengikuti metode gurunya, Plato, yakni dengan cara berjalan-jalan. Dari kebiasaan metode mengajar inilah muncul sebutan peripatetic. Namun kedekatan Aristoteles dengan Alexander, membuat Aristoteles tidak nyaman tinggal di Athena, karena dicurigai oleh banyak kalangan. Aristoteles tidak ingin bernasib seperti Socrates yang dihukum mati karena tuduhan yang tidak rasional. Sehingga ia pindah ke Chalcis dan tinggal di sana sampai meninggal pada tahun 322 SM.
Aristoteles adalah ilmuwan terbesar zaman Eropa Kuno dan pendidik Iskandar Agung yang juga merupakan murid sekaligus pengikut Plato. Pengaruhnya sangat besar, dan bahkan mungkin paling besar dari sekian banyak filsuf Yunani. Lebih dari dua abad Aristoteles dianggap sebagai pemegang otoritas intelektual di dunia Barat. Karya-karyanya tetap menimbulkan minat dan dikaji secara serius oleh para peminat filsafat.
Filsafat Aristoteles terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Kekayaan bidang kajian Aristoteles dapat ditelusuri melalui berbagai karya yang dihasilkannya. Bahkan bukan hanya jumlah judul yang sangat banyak, melainkan juga bidang kajian yang juga sangat luas dan mencakup astronomi, zoology, geografi, embriologi, geologi, fisika, anatomi, dan psikologi. Aristoteles mampu membuktikan dirinya sebagai filsuf orisinil. Poedjawijatna mengungkap pokok-pokok filsafat Aristoteles menjadi empat pembahasan utama, yakni logika, fisika, metafisika, dan etika.

b. Etika Eudemonisme
Pembahasan kita fokuskan pada persoalan etika yang digagas oleh Aristoteles. Yakni etika Teleologi atau sering juga disebut dengan Eudemonisme. Karena etika ini cukup menyita perbincangan para pemikir dan praktisi di bidang etika.
Prinsip dasar etika Aristoteles adalah bahwa kita hendaknya hidup dan bertindak sedemikian rupa, sehingga kita mencapai hidup yang baik, bermutu, dan berhasil. Hidup kita berhasil apabila kita mencapai tujuan terakhir yang kita cari melalui segala usaha kita, yakni kebahagiaan, yang dalam bahasa Yunani disebut dengan eudaimonia. Maka etika Aristoteles disebut dengan eudemonisme. Kebahagiaan akan semakin kita nikmati, jika kita merealisasikan potensi-potensi kita sebagai manusia. Etika menawarkan petunjuk ke hidup bahagia tersebut. Atau disebut juga dengan Teleologi, yakni teori atau ajaran bahwa semua kejadian (setiap gejala) terarah pada suatu tujuan. Adapun tujuan akhirnya adalah kebahagiaan.
Etika adalah ilmu tentang hidup yang baik. Semakin bermutu hidup manusia, semakin ia bahagia. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana manusia harus hidup agar ia bahagia. Pandangan bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan mengejar nikmat, kekayaan atau kedudukan terhormat diperlihatkan sebagai salah. Melainkan manusia menjadi bahagia jika ia merealisasikan diri secara sempurna, dan itu berarti, dengan mengaktifkan kekuatan-kekuatan hakikatnya.
Kekuatan-kekuatan itu adalah kemampuan bagian jiwa manusia yang berakal budi; akal budi murni yang mengangkat diri ke kontemplasi hal-hal abadi (theoria) dan akal budi praktis yang terlaksana dalam kehidupan aktif di tengah masyarakat (etika). Aristoteles tampaknya mengikuti jejak gurunya, Plato, tentang pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Menurutnya, masalah etika adalah masalah yang rumit dan sangat komplek.
Menurut Aristoteles, kebaikan tertinggi atau yang biasa disebut summum bonum adalah puncak dari segala tujuan. Semua yang ada dalam hidup ini hanyalah alat untuk mencapai tujuan tertinggi itu. Kekayaan, kemuliaan, reputasi, kesempatan dan sejenisnya hanyalah alat untuk mencapai sesuatu yang lain. Sementara kebaikan tertinggi adalah sesuatu yang lain, yang diperoleh dengan alat-alat, sarana. Kebaikan tertinggi merupakan suatu pemberhentian pada diri sendiri. Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan tujuan akhir, bukan sebagai alat untuk mencapai yang lainnya. Bagaimanapun, kebahagiaan dapat diperoleh melalui berbagai cara. Namun, tidak semua kebahagiaan dinamakan suatu kebaikan. Oleh karena itu, untuk mengisi hidup menjadi lebih bermakna, meliputi sarana dan cara-cara memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan mesti terletak dalam kegiatan yang khas bagi manusia dan itulah kegiatan bagian jiwa yang berakal budi. Maka nilai tertinggi, kebahagiaan, tercapai apabila manusia menggiatkan akal budi, baik secara murni dalam kontemplasi filosofis, maupun dengan cara aktif melibatkan diri dalam kehidupan komunitas. Manusia hanya dapat bahagia apabila ia tidak bersikap pasif, melainkan aktif. Untuk itu, yang harus diaktifkan adalah kemampuan khas manusia, yakni akal budi.
Tujuan eksistensi manusia adalah untuk melakukan hal-hal seperti keberanian, keadilan dan kebajikan moral yang lain, kebijaksanaan, ilmu pengetahuan dan intelektual berdasar kebajikan, yang dapat membuat orang yang mampu melakukannya dengan baik.
Perhatikan bahwa tujuannya bukanlah untuk mengembangkan atau memiliki kebajikan ini, tetapi untuk melakukan hal-hal yang mereka buat dan dapat melakukannya dengan baik. Untuk dapat melakukannya dengan baik maka perlu untuk mengembangkan kebajikan, tapi intinya adalah untuk melakukannya, bukan hanya untuk mengerti. Inilah yang membedakan teori Aristoteles dari 'realisasi diri' teori-teori etika yang populer di abad ke-19, yang menurut tujuan kode etik adalah untuk menyempurnakan diri sendiri, untuk mengembangkan potensi seseorang dengan penuh, untuk menjadi manusia yang mengagumkan; tujuan menurut Aristoteles bukanlah untuk menjadi, tetapi harus dilakukan.
Memberi pengertian ‘baik’ harus diterapkan pada hasil maksimal dari fungsi suatu objek. Misalnya, gelas dapat dikatakan baik jika dapat menampung air dengan sempurna. Pola ini dapat dianalogikan pada kehidupan manusia. Manusia dapat dikatakan baik jika ia mampu mengemban tugas untuk apa ia diciptakan. Tujuan dari semua objek bukanlah kesamaan apa yang dimiliki objek lain, melainkan apa yang menjadi ciri khasnya. Manusia berbeda dengan hewan, karena manusia diciptakan sebagai makhluk rasional yang dianugerahi kemampuan daya pikir. Jadi, ukuran baik bagi manusia terletak pada kemampuan mendayagunakan daya pikirnya dengan maksimal.
Manusia memiliki elemen-elemen yang hampir sama dengan hewan, seperti insting dan kapasitas spiritual. Hidup yang baik bagi manusia adalah kemampuannya dalam mengorganisir elemen-elemen tersebut dengan wajar. Karena ketidakseimbangan dalam pengaturan elemen-elemen itu akan berakibat pada ketidakstabilan seseorang. Elemen hewani harus ditundukkan di bawah kapasitas spiritual manusia.
Kebajikan yang tinggi, merupakan hal yang sangat sulit untuk direalisasikan oleh manusia, sekalipun ia memiliki kemampuan dan kapasitas untuk itu. Kebajikan yang telah menjadi kebiasaan menempati posisi puncak dari hidup manusia.
Aristoteles dalam Nichomacean Ethics buku VI.13 membedakan kebajikan 'alami' (apa yang kita sebut temperamen) dari kebajikan moral 'dalam arti sempit'. Seseorang mungkin dilahirkan dengan temperamen tenang atau berani, "tapi kita mencari kehadiran kualitas tersebut dengan cara lain”.

Moral kebajikan dalam arti sempit adalah penyerahan satu perasaan dan tindakan di luar akal. Seseorang dengan temperamen atau jiwa yang tenang akan memiliki kebajikan yang sesuai yakni tenang atau bersemangat. Jadi, kebajikan bukan bagian emosional dari jiwa rasional, dalam arti bahwa perasaan dapat dimodifikasi oleh pikiran - 'mendengarkan', 'taat', 'terbujuk’ oleh alas an.

Kebajikan moral bukan bawaan temperamen. Hal ini dikembangkan dalam perjalanan hidup seseorang dengan habituasi. Hal ini tidak berlaku untuk semua kebajikan; ketajaman pisau bukan merupakan kebiasaan, kebajikan intelektual tidak kebiasaan tetapi kebajikan dari bagian jiwa yang dapat dipengaruhi oleh kebiasaan pemikiran. 'Batu yang secara alami bergerak ke bawah tidak bisa terbiasa untuk bergerak ke atas, bahkan jika seseorang mencoba untuk melatih itu dengan melemparkan ke atas sepuluh ribu kali. Artinya, kebajikan tidak bertentangan dengan alam. Melakukan kebajikan muncul dalam diri kita, melainkan kita diadaptasi oleh alam untuk menerima mereka, dan dibuat sempurna oleh kebiasaan. Sifat manusia dan temperamen pribadi dengan alam superadded meninggalkan hubungan antara perasaan dan berpikir agak tak jelas, sehingga ada ruang untuk pengembangan kebiasaan 'merasa cukup'. "Ini bukan dengan sering melihat bahwa kita mendapatkan indra penglihatan, tetapi kebajikan kita melatih mereka dengan terlebih dahulu kita menjadi hanya dengan hanya melakukan tindakan, berani dengan melakukan tindakan berani”. Setiap kali kita berhasil menahan perasaan dengan memikirkan apakah sesuai dengan situasi yang kita buat lebih mudah untuk melakukan hal yang sama waktu berikutnya; setiap kali kita berpikir panjang memanjakan perasaan kita lebih sulit untuk menahan perasaan seperti itu di masa depan.
Simpulan dari paparan tersebut, menurut Aristoteles, ada dua kebajikan; kebajikan moral dan kebajikan intelektual. Kebajikan moral adalah sarana untuk memperoleh nilai-nilai lain, sementara kebajikan intelektual berakhir pada diri sendiri, dalam artian bahwa kebajikannya akan tetap melekat sekalipun tidak terpakai lagi.
Kedua macam kebajikan itu dapat diilustrasikan sebagai mawas diri (iffah, temperance), yaitu sikap mengendalikan diri dan menghindarkan diri dari perbuatan hina. Kebaikan itu disebut kebajikan moral karena berfungsi sebagai pencapaian tujuan lain, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Sedangkan pengetahuan dan apresiasi terhadap keindahan adalah kebajikan intelektual sebab mengandung kebaikan pada dirinya.
Salah satu karakteristik etika Aristoteles yang terpenting ialah apa yang disebut sebagai jalan tengah (golden mean). Kebajikan moral merupakan jalan tengah antara dua sikap ekstrim. Semua aktivitas manusia dikatakan baik jika memperhatikan keseimbangan, tidak terlalu sedikit juga tidak terlampau banyak. Dermawan ialah perbuatan baik antara boros dengan pelit. Keberanian adalah menjaga keseimbangan antara pengecut dengan nekad atau sembrono. Di antara rendah diri dan kesombongan ada kerendahan hati. Dan di antara kerahasiaan dan keterbukaan ada kejujuran.
Setiap hari kita melakukan pilihan. Kita memilih yang benar apabila kita memilih yang lebih baik di atas yang kurang baik. Dalam melakukan pilihan itu, kita bukan saja melihat data yang ada tetapi kemungkinan di masa depan. Seringkali yang kurang baik kita korbankan demi sesuatu yang lebih baik di masa depan. Pilihan-pilihan itu dilakukan dengan menggunakan akal. Ketika kita mendapatkan hadiah uang yang banyak, kita harus memilih penggunaan uang itu antara berpesta atau berinvestasi. Orang bijak yang menggunakan akalnya, akan menangguhkan kesenangan yang cepat demi kebahagiaan di masa depan
Aristoteles mengecam orang yang mengambil pilihan pada kesenangan jasmaniyah yang mengorbankan kebahagiaan. Kesenangan jasmaniyah sebentar tapi penderitaan yang diakibatkannya bisa berkepanjangan. Kebahagiaan harus berupa kesenangan, tapi kesenangan jiwa. Kebahagiaan datang hanya kalau kesenangan jiwa ini dinikmati dalam mencari kebenaran. Tetapi kesenangan jiwa terlalu abstrak, kata kaum hedonis. Tidak ada jeleknya menikmati kesenangan jasmaniah, asal kita mengendalikannya dengan akal.
Guna menentukan pilihan-pilihan dengan tepat, maka dalam mempertimbangkannya kita harus bersikap adil. Namun untuk menjadi adil, menurut Aristoteles, manusia harus bertindak dengan adil, padahal untuk bertindak dengan adil, ia sudah mesti adil. Setiap manusia mempunyai bakat alami untuk menjadi adil, tetapi kita hanya menjadi adil melalui latihan, jadi dengan terus menerus bertindak dengan adil. Perlu diperhatikan bahwa orang baru bertindak dengan adil, jika bukan hanya tindakannya secara obyektif kelihatan adil, melainkan apabila tindakan itu dilakukan dengan sikap batin yang memang adil.
Keadilan bukan berarti memberikan perlakuan yang sama pada setiap orang, sebab setiap individu manusia tidaklah sama, apa yang pantas diperlakukan pada seseorang bias jadi tidak cocok untuk diperlakukan kepada orang lain. Keadilan yang sebenarnya ialah perlakuan yang seimbang dan adil sesuai dengan proporsinya. Keadilan juga berarti memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk mendapatkan apa yang diperlukan demi mencapai hidup yang baik, sejauh dapat dicapai tanpa merugikan pihak lain, tentunya dengan memperhatikan syarat-syarat lingkungan dan norma-norma masyarakat di mana ia hidup.
Keadilan sangat membutuhkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu mencakup hidup yang lebih baik pada umumnya. Secara lebih spesifik, Aristoteles mendefisikannya sebagai disposisi atau sikap tetap dalam bertindak sesuai dengan pengertian benar mengenai manusia dan apa yang baik baginya. Tuhan atau alam yang abadi. Secara sederhana, orang itu bijaksana apabila tahu menjalani hidup yang bermutu.
Aristoteles memperhatikan bahwa kebijaksanaan tidak pernah dapat sempurna. Suatu ketrampilan dapat di kuasai sepenuhnya sehingga suatu hasil karya itu tidak ada cacatnya. Akan tetapi kebijaksanaan selalu harus dimulai baru. Maka kalau orang yang sangat terampil dengan sengaja membuat kesalahan, jadi melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma, hal itu membuktikan betapa sempurna ia menguasai ilmunya. Sedangkan apabila orang dengan sengaja bertindak dengan tidak bijaksana, hal itu justru tidak bijaksana dan tidak pernah terpuji.
Berbeda dengan pengetahuan ilmiah, kebijaksanaan selalu mengenai hal-hal yang dapat berubah, itulah tindakan manusia. Karena hanya kalau sesuatu dapat begini atau begitu, maka masuk akal kita mempertimbangkan bagaimana kita melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Lagi pula kebijaksanaan selalu mengenai hal konkret, jadi tidak mengenai prinsip-prinsip abstak. Kebijaksanaan tidak dipelukan pengetahuan ilmiah, melainkan orang harus berpengalaman. Pengalaman mengajarkan kebijaksanaan.
Jadi, orang bijaksana adalah orang yang baik membuat pertimbangan. Tetapi tidak ada orang yang mempertimbangkan sesuatu yang bagaimanapun juga berada di luar kemampuannya. Maka jika ilmu berdasarkan bukti-bukti, sedangkan hal-hal yang prinsip-prinsipnya dapat berubah tidak dapat dibuktikan, maka jelaslah bahwa kebijaksanaan itu bukanlah ilmu dan bukan pula ketrampilan, karena bertindak dan membuat adalah dua hal yang berbeda. Perbuatan mempunyai tujuan di luar dirinya, sedang tindakan tidak. Berbuat dengan baik merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Maka yang tersisa hanyalah bahwa kebijaksanaan merupakan sikap yang mencari pengertian benar melalui tindakan yang menyangkut apa yang baik dan buruk bagi manusia.


C. PENUTUP

Seperti diketahui bahwa setiap tindakan (praxis) dan setiap keputusan, begitu pula setiap ketrampilan dan setiap ajaran nampaknya selalu mengejar salah satu nilai. Oleh karena itu, tepatlah bahwa suatu nilai selalu disebut dan dikejar oleh semua. Akan tetapi ada perbedaan dalam tujuan-tujuan, ada kegiatan sendiri menjadi tujuan, ada di mana karya-karya yang dihasilkan dari kegiatan sendiri menjadi tujuannya. Sedangkan tujuannya bukan tindakan itu sendiri, karya atau hasil tindakan itu secara kodrati lebih bernilai daripada kegiatan itu.
Karena ada banyak tindakan, ketrampilan dan ilmu, maka ada juga banyak tujuan; tujuan ilmu perang adalah kemenangan, tujuan ilmu kedokteran adalah kesehatan, tujuan ilmu ekonomi adalah kekayaan. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan, apakah kegiatan-kegiatan itu sendiri yang merupakan tujuan tindakan atau hasil yang dicapai melalui tindakan itu.
Tetapi jika ada suatu tindakan mempunyai tujuan yang kita kehendaki demi dirinya sendiri dan hal-hal lain hanya demi tujuan itu. Jadi jika kita bukannya mengejar segala apa demi sesuatu yang lain lagi, maka jelas bahwa tujuan itu berkaitan dengan ilmu atau kecakapan tertentu.
Namun yang jelas, semua sepakat bahwa kebahagiaan itulah tujuan tertinggi, baik menurut orang kebanyakan maupun menurut mereka yang terdidik, dan mereka menyemakan hidup yang bermutu dan perilaku atau tindakan yang baik dengan kebahagiaan.
Kebahagiaan merupakan unsur penting dalam hidup. Ada banyak cara untuk mendapatkannya. Kesenangan yang dinikmati seseorang dibatasi oleh sifat kemajuan yang dicapai. Orang baik adalah manusia yang mempelajari kepuasan hidup tertinggi yang timbul dari aktivitas yang menopang seluruh kepribadian. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat seperti itu cenderung melumpuhkan kapasitas kemampuannya dalam mendapatkan kesenangan masa depan.
Jadi, orang baik adalah orang yang memiliki sikap yang tepat terhadap dua perasaan yang menyertai segala tindak-tanduk kita. Jika hal sikap bijak ini dapat dilaksanakan, maka diharapkan manusia dapat kembali membangun bumi ini dengan moral yang lebih bijak dan bajik.


Daftar Pustaka

Adam, Peter, et. Al., Virtue in Ancient Philosophy, California: Wardsworth Publishing Company, 1998.

Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. WD Ross dalam The Works of Aristoteles, Oxford: World's Classics', 1928.

Drajat, Amroeni, MA, DR, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005.

Hart, Michael H, Seratus Tokoh paling Berpengaruh dalam Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. XVII, 1995.

Hasan, Fuad, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. II, 2001.

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, Cet. III, 1986.

Jalaluddin Rahmat, Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004.

Poedjawijatna, I.R., Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Pembangunan, Cet. IV, 1978.

Rees, D.A., “Platonism and the Platonic Tradition”, dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Canada: Collier Macmillan, Cet. I, Vol. V, 1967.

Rile, Gilbert, “Plato”, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Canada: Collier Macmillan, Cet. I, Vol. V, 1967.

Suseno, Frans Magnis, Tiga Belas Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzche, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. VIII, 2006.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi III, Cetakan kelima, 2007.

Selasa, 26 Januari 2010

Dualisme Najis Kencing

DUALISME NAJISNYA KENCING ANAK
Oleh: A. Choliq Mi'roj


Air kencing atau dalam bahasa Arab biasa disebut baul adalah cairan yang keluar dari lat kelamin laki-laki atau perempuan yang bernama urethra. Menurut istilah fiqh, baul merupakan cairan yang keluar dari salah satu jalan keluarnya kotoran yang ada dalam tubuh manusia atau dikenal dengan istilah qubul dan dikategorikan najis.
Telah diketahui bahwa air kencing adalah najis mutawasithah (sedang) yang harus dicuci atau dibasuh dengan air hingga bersih. Namun ketika masih bayi dan hanya mengkonsumsi air susu ibu (ASI), terjadi pemisahan antara kencing bayi laki-laki dan perempuan. Bagi bayi laki-laki cara mensucikannya cukup diperciki air, sedangkan bagi bayi perempuan harus diperlakukan layaknya terhadap air kencing orang dewasa.
Argumen perbedaan ini, para ulama menyatakan bahwa orang tua dan kerabat lebih bangga dan suka menggendong bayi laki-laki, sehingga ada ‘keringanan’ terhadap cara mensucikannya. Sedang bagi bayi perempuan dianggap kurang membangkitkan kebanggan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan sudah terjadi sejak bayi.
Argumen karena kesukaan terhadap bayi jenis kelamin tertentu, yang kemudian melahirkan pembedaan dalam cara mensucikannya, sungguh merupakan manifestasi diskriminasi para ulama dalam hukum fiqh. Permakluman mungkin dapat dikemukakan di sini, bila melihat bahwa teks fiqh tidak lepas dari fenomena sosial pada saat ‘hukum ‘ diciptakan. Struktur sosial patriarkhi yang melingkupi para ulama fiqh (fuqoha), di mana orang tua lebih bangga mempunyai anak laki-laki dan malu bila memiliki anak perempuan, sangat mempengaruhi keputusan hokum mereka. Sehingga wajar pula jika mereka melahirkan hokum yang diskriminatif.


a. Silang Pendapat Ulama
Dalam menghukumi kenajisan air kencing dari jenis kelamin apapun, para ulama telah bersaepakat, namun dalam cara mencuci najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan sesuatu kecuali ASI, mereka berbeda pendapat. Seperti termaktub dalam kitab Ibanat al-Ahkam:



“Imam Ahmad dan Syafi’I berkata bahwa hal itu merupakan rukhsah (keringanan) bagi bayi laki-laki yang belum makan apapun. Sedang Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik bahwa antara bayi laki-laki dan perempuan sama-sama dibasuh semuanya”

Pendapat Imam Ahmad dan Syafi’I tersebut, lebih berdasar pada hadits:






“Dari Malik dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah bin Utbah bin Mas’ud dari Umi Qais binti Mahshan bahwa ia (Ummu Qais) dating pada Nabi dengan membawa anak laki-lakinya yang masih kecil dan belum memakan makanan, kemudian Rasulullah memangku bayi itu dan tiba-tiba bayi tersebut mengencingi pakaian Nabi, lalu Nabi meminta air dan memercikkan air tersebut ke bajunya dan tidak mencucinya.”

Dalam hadits yang lain terdapat penjelasan yang serupa:



“Dari Abi Assamuh r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: Kencing anak perempuan dibasuh sedang kencing anak laki-laki diperciki air.” (HR. Abu Daud dan Nasa’I dan disahihkan oleh al-Hakim).

Dari berbagai hadits di atas, menjadi jelas bahwa terdapat perbedaan pendapat yang cukup krusial di kalangan para ulama yang dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa perbedaan cara mensucikan air kencing bagi kedua jenis kelamin bayi tersebut karena didasarkan pada perbedaan kondisi obyektif air kencing anak laki-laki. Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut lebih didasarkan pada konstruksi budaya dan sosial terutama Arab waktu itu yang cenderunng diskriminatif dengan lebih menyayangi dan bangga dengan anak laki-laki. Akibatnya anak laki-laki lebih sering digendong, sehingga fiqh memberi rukhsah (keringanan) terhadap cara mensucikan najis air kencing dari anak laki-laki tersebut. Ketiga, kelompok yang berkeyakinan bahwa ketentuan tersebut sifatnya ubudiyyah, sehingga merupakan ketentuan yang tidak dapat ditawar lagi.
Jelasnya, dari berbagai hadits pendukung di atas dapat disimpulkan bahwa rukhsah yang diberikan Nabi untuk memerciki kencing bayi laki-laki yang belum makan apapun selain ASI, tampak lebih dominan. Persoalannya kemudian, apakah perintah tersebut bersifat temporal atau memang berlaku untuk selamanya? Ini tentu membutuhkan jawaban yang rasional beik dari segi interpretasi teks maupun yang menyangkut bidang ilmu lainnya.
Ulama-ulama madzhab terkemuka juga berbeda pendapat dalam menentukan cara menghilangkan najis air kencing anak laki-laki dan perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI. Golongan Syafi’iyyah yang diwakili az-Zuhri, Ahmad Sihaq, Ali Hasan, dan Ibn Wahab menyatakan cukup dengan memercikkan air pada air kencing bayi laki-laki, namun untuk bayi perempuan harus disucikan dengan membasuh sebagaimana membersihkan najis mutawasithah lainnya.
Sementara madzhab al-Auza’I menyamaratakan antara air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang hanya mengkonsumsi ASI, yaitu dengan cara memercikkan air saja. Sedangkan golongan madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah tetap berpegang pada pendapat bahwa cara membersihkan najis adalah dengan membasuh, termasuk juga terhadap najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan apapun kecuali ASI. Selain itu, ketika anak laki-laki dan perempuan tersebut dewasa pun tidak ada perbedaan dalam cara menghilangkan najis air kencing mereka.

b. Menuju Fiqh yang Berbudaya
Secara umum, kitab-kitab fiqh klasik dan kontemporer memang membedakan cara menghilangkan najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum makan makanan selain ASI. Bagi najis air kencing bayi laki-laki, cara menghilangkannya cukup dipercikkan air pada tempat yang kena najis. Sedangkan bila terkena najis air kencing bayi perempuan, caranya harus dibasuh dengan air.
Hanya saja argumentasi yang memunculkan rukhsah ini perlu dikaji ulang dengan lebih serius dan teliti. Sebab pembahasan kitab kitab fiqh yang menjelaskan argumentasi terjadinya perbedaan cara menghilangkan najis air kencing bayi laki-laki dan perempuan tersebut, masih lebih banyak didasarkan pada pandangan yang patriarkhis.
Ibn Daqiq al-Ied misalnya, menjelaskan bahwa perbedaan tersebut disebabkan adanya kecenderungan perasaan yang lebih kepada laki-laki dari pada perempuan, sehingga bayi laki-laki lebih sering digendong orang. Karena itu bagi bayi laki-laki diberi rukhsah dalam membersihkan air kencingnya, dengan alasan untuk menghindari kesulitan atau memberatkan orang.
Argumen di atas tentu sangat lemah, bersifat temporal dan terbatas pda konteks sosial budaya di Arab saat itu yang sangat patriarchal, sehingga masyarakat di sana lebih menyukai selalu berdekatan dengan bayi laki-laki ketimbang bayi perempuan. Namun untuk situasi sekarang, di mana orang tua telah menyadari sama penting dan sayangnya antara bayi laki-laki dan perempuan, maka alasan merepotkan atau siapa yang lebih sering digendong , tentu perlu reinterpretasi yang lebih mumpuni.
Sementara al- Husaini mengemukakan, dari segi substansialnya ada dua alas an terjadinya perbedaan tersebut. Pertama, air kencing anak perempuan terpencar-pencar sehingga butuh untuk disiram, berbeda dengan air kencing anak laki-laki yang hanya mengena pada satu tempat. Kedua, air kencing anak perempuan lebih kental, berwarna kuning dan berbau tidak enak serta melekat di tempat, sedang air kencing bayi laki-laki tidak demikian adanya.
Pendapat senada juga dikemukakan asy-Syarbini dan Wahbah az-Zuhaili. Menurut mereka, alasan perbedaan dalam memerciki kencing bayi laki-laki dan membasuh kencing bayi perempuan adalah karena air kencing bayi laki-laki lebih cair dan cepat hilang warna dan baunya, sedang air kencing bayi perempuan lebih kental warna dan baunya serta cepat melekat di tempat yang terkena najis.
Sekarang, dengan perubahan konstruksi budaya dan sosial yang menjadikan tidak adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kesukaan orang tua untuk memiliki dan menggendong bayi laki-laki atau perempuan, sesungguhnya perbedaan terhadap cara mensucikan air kencing bagi bayi laki-laki dan perempuan itu patut dipertanyakan kembali.
Alasan keterpencaran air kencing bayi perempuan juga tidak menemukan argumentasi logis. Sebab bagaimanapun keadaannya, kencing tetaplah berupa air yang bila tertumpah, baik dari bayi laki-laki maupun bayi perempuan, tetap akan terpencar dan merambah kemana-mana, apalagi bila yang terkena berupa kain yang mudah menyerap.
Kalaupun kemudian muncul juga alasan yang lain, misalnya dari aspek zat yakni bahwa air kencing bayi perempuan lebih kental, berwarna kuning, berbau tidak enak dan melekat, dan perbedaan kondisi obyektif alat kelamin antara bayi laki-laki dan perempuan, sehingga membuat perbedaan pancaran air kencing yang kemudian membuat adanya perlakuan berbeda terhadap cara mensucikan air kencing bagi bayi laki-laki dan perempuan, maka alasan tersebut harus dicari urgensinya dan dibuktikan secara ilmiah.
Seperti yang diungkapkan dr. Reni Bunjamin, bahwa kalau dilihat dari segi fisiologis ginjal maka tidak ditemukan adanya perbedaan komposisi pada bayi laki-laki dan perempuan. Perbedaan itu baru tampak setelah masa baligh karena ada perbedaan jenis hormon yang dihasilkan keduanya. Sedangkan pekat dan tidaknya air kencing bayi, lebih ditentukan oleh jumlah cairan yang dikonsumsi oleh bayi laki-laki maupun perempuan tersebut. Artinya, semakin banyak mengkonsumsi cairan maka air kencing akan semakin encer dan berwarna lebih jernih. Jadi air kencing bayi laki-laki dan perempuan itu sama, karena sama-sama keluar dari urethra atau saluran kencing, bukan dari saluran reproduksi.
Bagaimanapun air kencing bayi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama najis, yang bersifat kodrati (bawaan) sejak bayi lahir. Melihat kenyataan di atas, tentu saja air kencing dari kedua jenis kelamin bayi tersebut harus mendapat perlakuan sama dalam cara mensucikannya. Dengan kata lain, perbedaan antara memerciki dan membasuh tersebut merupakan konstruksi budaya yang tendensius dan berbau patriarkhis. Seiring dengan perubahan budaya dan konstruksi sosial yang semakin baik, maka hukum pun harus mengalami perubahan.
Jika kebanggaan atas bayi laki-laki dan perempuan telah sama, maka ketika mensucikan air kencing bayi laki-laki mendapat rukhsah sehingga cara mensucikannya cukup diperciki air, maka air kencing bayi perempuan juga perlu diperlakukan sama. Atau untuk lebih berhati-hati, alangkah bijak bila mengnambil pendapat Hanafiyah dan Malikiyah yang menyamakan air kencing bayi laki-laki maupun perempuan dengan air kencing orang dewasa.